Pariwisata Thailand Anjlok karena Covid-19
Dalam 25 tahun terakhir, Thailand telah mengalami kehancuran ekonomi (1997), tsunami (2004), kudeta (2006, 2014) dan pendudukan bandara internasional oleh pengunjuk rasa (2008) serta kekerasan politik (2010).
Berdasarkan data statistik, pada tahun 1960 sekitar 80.000 wisatawan asing berkunjung.
Tahun lalu, 39 juta orang mendatangi negara itu, menghasilkan US$60 miliar atau Rp900 triliun dan secara tidak langsung menyumbangkan sekitar seperlima pemasukan nasional Thailand.
Sektor pariwisata dipandang sangat menguntungkan sehingga negara tersebut diberikan julukan "Thailand Teflon". Dari puluhan juta wisatawan tersebut, lebih dari 10 juta orang adalah warga China.
Ketika pemerintah China mengarantina kota Wuhan pada tanggal 23 Januari dan menghentikan semua lawatan luar negeri, pengaruhnya langsung terasa di Thailand. Pusat belanja dan kuil di Bangkok tiba-tiba menjadi lebih sepi dan tidak ramai.
Saat semakin banyak penerbangan dari China yang dibatalkan, bandara menjadi sepi. Anda dapat dengan cepat melewati pemeriksaan paspor.
Bagi pengusaha kecil, kehancuran pariwisata China merupakan sebuah bencana.
Para penjual bunga, penari tradisional dan sopir bus kecil Chiang Mai dilaporkan pemasukannya turun setengahnya dalam sebulan terakhir. Organisasi tidak resmi pemandu wisata Thailand memperkirakan 25.000 orang menganggur.
Salah satu yang pertama kali mencatat keberhasilan lonjakan pariwisata Thailand yang telah berlangsung selama 60 tahun adalah pulau Phuket, yang dijuluki "Mutiara Andaman" karena pantai pasir putih dan laut hangat bersinar.
Wisatawan asing yang datang pada tahun 1980-an dan 1990-an kebanyakan adalah warga Eropa dan Australia, tetapi jumlah turis China terus melonjak menjadi sekitar dua juta dari 15 juta wisatawan asing.
Hutan bakau di bagian timur pulau, berbeda dengan pantai yang menghadap ke barat, dimana perahu membawa wisatawan ke pulau-pulau lain. Sama seperti sebagian besar penduduk Phuket, Nattakit Lorwitworrawat pindah ke kota tersebut dari tempat lain di Thailand untuk memulai bisnisnya.
Perusahaaannya sekarang memiliki 30 speed boat, yang dapat membawa 30 penumpang.
Tetapi dia harus menarik 20 perahu ke darat, sementara 10 boat sisanya jarang mendapatkan sewaan. Teluk kecil yang biasanya ramai suara motor, sekarang sunyi. Yang terdengar hanyalah suara burung dan ombak.
"Pada puncaknya dua tahun lalu kami membawa 1.000 penumpang setiap harinya. Sekarang jika kami memperoleh 200 orang, itu sudah bisa dipandang sebagai sangat baik - kami akan sangat gembira," kata Nattakit.
Dia meminjam dana bank untuk memelihara perahunya. Jika krisis terus berlanjut sampai setelah akhir tahun ini, Nattakit harus memperkecil perusahaan dan mulai memberhentikan staf-nya.
Bagi penduduk yang lebih rendah strata ekonominya, keadaannya lebih buruk lagi.
Somkiat Prasarn harus menyicil pembelian rumah kecilnya, disamping pinjaman kendaraan yang dipakainya untuk membawa wisatawan China agar dapat mengunjungi berbagai tempat di pulau itu. Dia harus menafkahi empat anak dan seorang ibu yang sudah manula.
Cicilan bulanannya sekitar US$1.500 atau Rp22 juta.
Saya bertanya apakah dia bisa bertahan selama enam bulan lagi. "Tidak bisa, Pak," katanya. Sekarang dia tidak mendapatkan penumpang kecuali orang-orang dari bandara.
"Pemerintah harus segera membantu kami," kata Sarayuth Mallam, wakil presidan Asosiasi Pariwisata Phuket atau Phuket Tourism Association.
"Kami tidak banyak menuntut. Tetapi jika mereka ingin kami tidak mem-PHK staf, mereka juga harus membantu kami memotong atau menunda pembayaran pajak, tunjangan sosial dan memberikan pinjaman lunak kepada pengusaha disini."
Sarayuth juga meyakini Otorita Pariwisata Thailand atau Tourism Authority of Thailand perlu mulai mempromosikan Phuket dengan agresif ke pasar di luar China, seperti Rusia, India dan Australia.
Jika mereka dapat mengendalikan virus dalam tiga bulan, katanya, kami dapat bertahan dan kembali berdagang.
Tetapi tidak seorangpun mengetahui akan berapa lama krisis berlangsung, ataupun akan menjadi seberapa serius. Saat ini masih terdapat cukup banyak warga Eropa, Australia dan Rusia di berbagai pantai terkenal. Tetapi akan sampai kapan?
Pemerintah disini mengontrol dan mengawasi infeksi dengan baik, terutama jika memperhitungkan seberapa pekanya mereka karena besarnya jumlah warga China yang datang sebelum pembatasan perjalanan diterapkan.
Tetapi negara tersebut malahan menempatkan sejumlah pemerintahan ke dalam daftar tempat yang dihindari karena risiko virus corona.
Sementara orang biasanya memesan liburan untuk masa kemudian, termasuk musim yang biasanya ramai pada bulan Juli-Agustus dan Tahun Baru di Thailand.
Sekarang, keluarga yang memiliki anak dari Eropa atau Australia kemungkinan akan bepikir dua kali untuk melakukan perjalanan jauh. Dan Thailand sekarang juga menerapkan pembatasan, dengan mewajibkan karantina 14 hari bagi pengunjung dari sejumlah negara. Daftar ini kemungkinan akan terus bertambah.
Siapa yang akan mengambil risiko berlibur di daerah tropis, jika pada akhirnya mereka akan terkurung di kamar hotel atau rumah sakit?
Karena semakin banyak penerbangan yang dibatalkan setiap minggu, jumlah wisatawan bukan dari China kemungkinan besar akan anjlok tahun ini, bergantung pada seberapa cepatnya pengendalian virus.
Pukulan terhadap sektor penting ekonomi Thailand ini terjadi saat pemerintah menghadapi masalah. Dua sektor ekonomi, seperti sektor manufaktur dan pertanian, mengalami masalah kenaikan upah dan mata uang yang nilainya terlalu tinggi. Hal ini membuat penanam modal pindah ke negara tetangga yang lebih murah, seperti Vietnam.
Pertumbuhan negara yang sebelumnya adalah "harimau ekonomi" Asia Tenggara ini telah bermasalah selama beberapa tahun terakhir dan kemungkinan akan sama sekali terhenti tahun ini.
Pemerintah koalisi pemimpin militer yang memimpin kudeta terakhir, terbukti tidak terampil dan tidak disukai.
Ini adalah sebuah bencana yang tidak mampu diatasi pemimpin Thailand saat ini.