Kisah WNI di Malaysia Bertemu Ibu Kandung Setelah 15 Tahun Terpisah

Ibu dan anak bertatap muka untuk pertama kalinya setelah 15 tahun terpisah. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Seorang pemuda keturunan Indonesia yang hidup tanpa identitas kewarganegaraan di Malaysia terpisah dengan ibu kandung sejak umur sekitar enam tahun. Kini menginjak usia 22 tahun, ia berhasil dipertemukan kembali dengan ibunya.

Reuni perdana itu diawali dengan ledakan tangis sang ibu yang membelah kesunyian siang bolong di tengah kawasan perkebunan kelapa sawit di pedalaman Negara Bagian Sabah, Malaysia, pada Rabu (12/02).

"Iwan anakku, kau anakku, kau anakku. Kasihan kau nak, mama baru berjumpa kau di sini. Aku rindu betul sama kau, nak Iwan," tangis sejadi-jadinya sang ibu, Hana Beddong, sambil memeluk erat pemuda tersebut.

Akan tetapi sang anak, Iwan, sangat syok dan ragu. Oleh karenanya, ia hanya menangis tetapi tak mengucapkan sepatah kata pun dan tak pula membalas pelukan kuat ibu.

Perempuan pekerja ladang kelapa sawit itu sampai perlu menarik kepala Iwan untuk disandarkan pada pundaknya dan juga tangan untuk dilingkarkan pada tubuhnya.

Tak merespons pelukan ibu dan hampir pingsan

Kedatangan Hana Beddong, 48, ke tempat Iwan memang merupakan kejutan, dengan harus melewati jalan tanah dan berbatu yang berkelok-kelok di antara deretan hutan kelapa sawit dan karet.

Praktis tumbuh besar di pedalaman selama bertahun-tahun sebagai pekerja perkebunan sawit, Iwan masih tidak percaya bahwa sosok yang banjir air mata dan memeluknya itu adalah perempuan yang melahirkannya 22 tahun silam.

Dalam proses interaksi di atas bangku tersebut, Iwan pun lemas, pucat dan hampir pingsan. Keringat bercucuran dari tubuhnya, membuat kaus yang dikenakan dari ladang semakin basah kuyup.

Setelah kami yakinkan bahwa Hana datang setelah mengikuti awal Februari ini, ia lantas merespons tangisan dan pelukan ibu.

"Di mana saja kau, Nak? Padahal kau ada di sini. Aku sayang betul kau, nak Iwan. Mama rindu betul, aku sayang betul nak sama kau. Aku tinggalkan kau ketika masih kecil, baru sekarang kita jumpa," ujar Hana seraya terus menangis dan membelai rambut anaknya.

"Syukurlah jika ibu masih sayang sama saya," Iwan terbata di tengah tangisnya.

Ia pun mengaku bahagia setelah "dari kecil mencari orang tuaku (ibu), akhirnya aku sekarang jumpa juga." Demikian kata Iwan yang sebenarnya murah senyum dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesulitan yang dialaminya, setidaknya dari luar.

Ibu dan anak sontak berpelukan erat dan menangis tiada henti. Mereka terlibat dalam percakapan intens penuh kerinduan dalam bahasa Konjo, bahasa daerah yang biasa digunakan di Bulukumba, kabupaten asal Hana di Sulawesi Selatan.

"Aku rasa memang tidak percaya sama sekali kan bahwa ini betul-betul orang tua saya (ibu). Jadi awalnya belum seberapa yakin, maka itulah pelukan saya pun tidak seberapa kuat sebab tak yakin bahwa ini adalah orang tua saya.

"Itulah mengapa aku terdiam, sebab betulkah orang tua saya tiba-tiba datang begini?" Demikian Iwan menjelaskan mengapa ia tidak langsung merespons pendekatan ibunya.

Lantas apa yang akhirnya membuat Iwan membalas gerak gerik dan perkataan perempuan yang ada di depannya?

"Lama kelamaan tadi memeluk, perasaan terus tersentuh. Tersentuh dan hati semacam berkata `orang tua saya sudah dekat dengan saya`. Itulah kenapa saya menangis, terus peluk ibu. Sebab, saya sudah yakin itu orang tua saya, batin saya sudah tersentuh," ungkap Iwan sambil tersenyum.

Lain lagi dengan Hana yang mengaku sudah langsung percaya bahwa sosok yang ia tonton di saluran beberapa hari sebelum pertemuan adalah anak kandungnya.

Dalam laporan kami tersebut, Iwan mencari ibunya yang sudah berpisah sejak kecil, dan keluarga besarnya yang berpisah sejak usia 12 tahun.

"Langsung menangis. Eh, anakku kah ini? Ini anakku! Langsung saya menangis. Kasihan betul.

"Yakin (anak saya). Namanya si Iwan. Pasal dia punya muka sama dengan saya. Betul itu anak saya. Yakin sudah," tegas Hana.

Selain Hana, sejumlah orang yang mengaku sebagai anggota keluarga Iwan juga menghubungi BBC News Indonesia. Keterangan mereka kemudian kami tindak lanjuti dengan melakukan pengecekan silang yang meyakinkan bahwa Hana adalah ibu kandung Iwan.

Liku-liku perjalanan hidup Iwan

Hana Beddong merantau ke Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit dan melahirkan Iwan di sana pada tahun 1997.

Di Malaysia, anak-anak tenaga kerja asing tidak boleh mengakses pendidikan di sekolah negeri kecuali mereka telah memegang izin menetap.

Terlebih lagi lantaran Hana pada masa itu masih berstatus sebagai tenaga kerja ilegal sehingga Iwan tidak bakalan mengakses pendidikan di Malaysia, maka ia mengantarkan anaknya yang memasuki usia enam tahun ke Bulukumba untuk bersekolah dan tinggal bersama nenek. Adapun Hana kembali bekerja di Malaysia untuk menafkahi Iwan serta kakaknya.

Tak lama kemudian, Iwan diambil oleh bapaknya yang sudah bercerai dengan Hana, dan sudah pula pulang ke Indonesia dari Malaysia.

Di usia 12 tahun, Iwan dibawa oleh seorang calo bersama bapaknya ke Malaysia untuk bekerja melalui jalur tidak resmi dan tanpa selembar dokumen yang menunjukkan identitasnya. Mereka bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di Sandakan, Sabah.

Dalam hitungan beberapa bulan saja, Iwan melarikan diri dari bapaknya, lantaran berdasarkan penuturannya, ia kerap "dipukuli". Ia mengaku kadang-kadang bertindak nakal ketika masih anak-anak.

Dari satu ladang ke ladang lainnya, Iwan bekerja tanpa bayaran memadai, sebab tak punya izin kerja dan paspor. Ia pun kehilangan kontak dengan semua anggota keluarga dan tidak ingat alamat mereka di Indonesia maupun lokasi ibunya di Malaysia.

Bagaimanapun, Iwan, dengan bantuan seorang teman, telah berusaha mencari keluarganya dengan cara menyisir media sosial walaupun tidak berhasil.

"Saya mencari-cari di Facebook tapi belum dapat juga. Yang saya cari adalah abang saya. Namanya Awi. Itu yang saya cari. Saya tahu namanya dan tahu mukanya," tuturnya.

Ditambahkan bahwa ia dan Awi mirip bahkan sampai dibilang sebagai anak kembar.

Pihak keluarga juga mencari-carinya tetapi hasilnya nihil. Hana, misalnya menelpon mantan mertuanya untuk menanyakan apakah mempunyai nomer kontak Iwan, tetapi jawabannya tidak.

"Ketika sembahyang, saya selalu doakan semoga kita bertemu kembali. Dalam hatiku, hidupkah atau matikah anakku? Tapi hatiku, macam ia belum mati, pasal dalam mimpi terasa anak ini masih ada," ungkap Hana dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, sehari sebelum menemui putranya.

Tak disangka, sang anak masih berada di satu negara bagian dengannya, meskipun dipisahkan oleh jarak sepanjang laluan lebih dari 600 km.

Lahir di Malaysia, tanpa surat lahir

Ketika reuni keluarga berlangsung Iwan belum secara resmi memiliki status kewarganegaraan. Yang diketahui ia adalah kelahiran Malaysia dari orang tua warga negara Indonesia.

Maknanya, ia mengikuti garis keturunan orang tua, namun tidak ada dokumen pendukung, surat lahir, misalnya. Hana melahirkan Iwan di kawasan perkebunan Malaysia dengan pertolongan bidan kampung.

Putus sekolah kelas III SD di Indonesia, anak kedua dari Hana itu juga tidak mempunyai ijazah. Satu-satunya bukti fisik yang dimiliki pihak keluarga adalah foto Iwan di masa sekolah SD.

Kata Hana, nama yang diberikan kepada putra keduanya waktu lahir adalah Iwan saja, bukan Iwan Nursyah sebagaimana sebelumnya disebutkan oleh Iwan sendiri.

Sehari setelah bertemu, Hana, bersama seorang pendamping, mengantarkan putranya ke KJRI Kota Kinabalu untuk mengurus Surat Bukti Pencatatan Kelahiran. Surat tersebut langsung diterbitkan pada hari yang sama, tanpa kendala.

Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Krishna Djelani, mengatakan dengan surat keterangan itu maka Iwan sekarang dapat mengajukan permohonan pembuatan paspor.

"Dalam kasus Iwan ini, dia sudah membuat surat bukti kenal lahir. Dengan surat itu dia bisa memproses untuk membuat paspor," jelasnya dalam wawancara jauh dengan menggunakan skype pada Kamis (20/02).

Idealnya, lanjut Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu dengan wilayah kerja Negara Bagian Sabah itu, Iwan menyertakan KTP, Kartu Keluarga atau ijazah.

"Dia kan sudah datang ke KJRI, bersama ibunya dan ada saksi juga, dan berdasarkan itu kita keluarkan surat bukti kenal lahir. Berdasarkan surat kenal lahir itu, dia bisa mengajukan paspor."

Tidak dapat dinafikkan bahwa persoalan yang dialami Iwan, bekerja di Malaysia tanpa paspor sebagai tanda identitas, tanpa izin kerja, merupakan persoalan yang jamak meski dengan skala persoalan berbeda, terlebih di Sabah yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia.

Di samping pos perbatasan resmi, perbatasan kedua negara dihubungkan oleh jalan-jalan tikus, sebagaimana pernah dilalui oleh Hana sebelum ia akhirnya mengantongi izin kerja, dan juga Iwan.

Namun seperti diterangkan oleh Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Krishna Djelani, KJRI telah menjalankan program menjangkau warga negara Indonesia yang tidak mempunyai dokumen, mayoritas berada di kawasan perkebunan,

"Kita sering mengadakan sosialisasi atau reach out , kita datang ke sana. Salah satu poinnya adalah salah satu tugas KJRI adalah melindungi warga negara Indonesia. Upaya perlindungan yang paling utama adalah melindungi diri sendiri.

"Nah, perlindungan dari diri sendiri ini apa? ya antara lain, melengkapi diri dengan dokumen-dokumen," tandasnya.

Bukan tugas yang mudah untuk menjangkau tenaga migran Indonesia tak berdokumen, termasuk anak-anak untuk memastikan mereka mendapat akses pendidikan.

"Ada beberapa kendala. Tentunya mereka tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah. Tentu pertama kita harus menelusuri keberadaan mereka di sini, apakah lahir di sini atau apakah lahir di Indonesia.

"Kedua, kendalanya adalah orang tua. Orang tua mungkin karena `pendidikan mereka kurang tinggi` sehingga tidak merasa penting adanya dokumen bagi anak-anak mereka," papar Konsul Jenderal Khrisna Djelani dalam kesempatan wawancara pertama pada bulan Desember 2019.

Ia memberikan contoh betapa penting bagi pekerja migran untuk melaporkan kelahiran anak mereka ke perwakilan Indonesia untuk mendapatkan surat bukti pencatatan kelahiran yang ketika kembali ke Indonesia dapat digunakan untuk mengurus akta kelahiran di kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

`Sabah tak akan menghukum anak-anak`

Pemerintah Negara Bagian Sabah mengaku telah melakukan berbagai langkah untuk membantu anak-anak yang status kewarganegaraannya belum jelas atau bahkan yang tidak punya kewarganegaraan sama sekali.

"Pemerintah negara bagian harus mengambil tanggung jawab untuk membantu anak-anak ini, bukan saja dari segi kehidupan mereka, bahkan untuk memastikan supaya mereka dlindungi dari keadaan," kata Ketua Menteri Sabah, Datuk Seri Mohd Shafie Apdal dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

"Bukan salah mereka sebagai seorang insan yang ditinggalkan tanpa ada dokumen dan tak akan kita menghukum anak-anak ini tanpa ada dosa atas perbuatan kemungkinan yang dilakukan ibu bapak mereka," tambahnya.

Tenaga kerja asing, terutama dari Indonesia, menjadi kunci penggerak sektor perkebunan di Sabah. Mayoritas tenaga kerja migran Indonesia yang merantau ke Sabah berasal dari Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.

Sabah juga menjadi tujuan pelarian bagi warga Filipina selatan pada tahun 1970-an ketika konflik bersenjata Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) berkecamuk.

Berdasarkan peraturan setempat, tenaga kerja asing yang gajinya kurang dari RM5.000 per bulan, sejatinya dilarang membawa serta keluarga atau menikah selama masa kontrak kerja.

"Tetapi faktanya banyak. Bukan berarti kita mengabaikan keberadaan mereka. Tetap saja dengan fungsi perlindungan itu, siapa saja asal warga negara Indonesia dan membutuhkan pertolongan, membutuhkan perlindungan, kita akan memberikan kepada mereka tanpa diskriminasi," kata Krishna Djelani dalam kapasitasnya sebagai Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu.

Sejauh ini, menurutnya, terdapat 151.000 warga negara Indonesia di Negara Bagian Sabah yang resmi terdaftar, 95% di antaranya adalah pekerja migran. Namun jumlah yang tidak resmi diperkirakan sama dengan jumlah yang terdaftar.

Di samping Sabah, tenaga kerja Indonesia juga berada di negara-negara bagian lain di kawasan Semenanjung Malaysia. Secara keseluruhan, menurut KBRI Kuala Lumpur, jumlah warga negara Indonesia yang terdaftar di negara itu mencapai 750.000 orang, belum termasuk mereka yang tidak terdaftar. Tenaga kerja Indonesia mendominasi jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di negara itu.

Produksi visual oleh jurnalis video Dwiki Marta

Laporan ini juga dapat Anda dengarkan di Radio BBC Indonesia dalam siaran pukul 05.00 dan 06.00 WIB pada Selasa (2 5 /02) - Rabu (2 6 /02) dan juga dapat Anda saksikan di saluran .