Risiko ke Kesehatan Rendah, Tembakau Alternatif Butuh Regulasi Khusus
- dok. pixabay
VIVA – Jumlah pengguna produk tembakau alternatif di Indonesia kini mencapai satu juta orang per Desember 2019. Angka itu cukup masif meskipun pemerintah telah kenakan cukai pada produk tersebut pada 2018 lalu.
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR atau KABAR Ariyo Bimmo, menyatakan produk tembakau alternatif perlu miliki regulasi khusus yang proporsional sesuai profil risikonya agar dapat dimanfaatkan sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sehingga, aturan ini harus berbeda dengan aturan rokok.
"Indonesia harus mengatur produk tembakau alternatif melalui regulasi yang terpisah dari rokok. Pemisahan regulasi perlu dilakukan karena produk tembakau alternatif memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya yang jauh lebih rendah dari rokok," kata Bimmo dalam keterangannya, Rabu 26 Februari 2020.
Bimmo melanjutkan, sebagai langkah awal, pemerintah perlu mendorong kajian ilmiah dalam negeri yang melibatkan pakar kesehatan, akademisi, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan adanya kajian ilmiah, Kata diaa, publik terutama perokok dewasa, dapat memperoleh informasi yang akurat dan teruji mengenai produk tembakau alternatif sebagai dasar pembuatan kebijakan.
"Hasil dari kajian ilmiah nantinya dapat menjadi landasan pembuatan regulasi yang proporsional sesuai dengan profil risikonya. Saat ini, masih banyak yang beranggapan produk tembakau alternatif sama berbahayanya dengan rokok, padahal tidak," ujar Bimmo.
Perlu diketahui, German Federal Institute for Risk Assessment pada 2018 menyimpulkan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80-99 persen daripada rokok. Selain itu, Public Health England juga menyatakan rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dari rokok.
Penggunaan produk tembakau alternatif merupakan penerapan dari pendekatan pengurangan risiko tembakau, yang dapat melengkapi upaya pengendalian tembakau yang sudah dilakukan pemerintah selama ini.
“Pemerintah harus mulai mempertimbangkan produk tembakau alternatif untuk mengurangi jumlah perokok atau menurunkan angka penyakit tidak menular akibat rokok yang tinggi di Indonesia,” tegas Bimmo.