Cegah Diabetes, Sri Mulyani Usul Minuman Berpemanis Kena Cukai
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta izin kepada DPR RI untuk mulai mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis. Meski begitu, pengenaan cukai tersebut masih dalam tahapan rencana awal, karena pihaknya belum menghitung dampak inflasi dari barang yang langsung dikonsumsi masyarakat itu.
Sri mengatakan, minuman berpemanis penting untuk dikendalikan konsumsinya karena bisa menimbulkan penyakit berat. Misalnya, kata dia, penyakit diabetes melitus yang dipicu oleh gula, melanda masyarakat berumur di bawah 15 tahun pada 2013. Jumlahnya, sebanyak 1,5 persen dari total penduduk dan menjadi dua persen pada 2018.
"Jadi kalau penduduk kita 260 juta bisa dibayangkan growing. Ini kalau kita bicara BPJS Kesehatan kemarin, menyumbang biaya cukup besar," tutur dia di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu, 19 Januari 2020.
Di samping itu, Sri menegaskan, minuman berpemanis itu juga memicu obesitas yang memiliki implikasi buruk terhadap kesehatan masyarakat. Bahkan, di Singapura, kata dia, pengurangan konsumsi gula yang menyebabkan obesitas menjadi program prioritas karena dianggap sebagai pemberat biaya kesehatan dan klaim asuransi terbesar.
"Yang paling bagus memang sayuran dan buah. Di New York bukan hanya cukai, bahkan di semua restoran harus disebutkan berapa persen gula dan kalorinya," ungkap dia.
Karena itu, dia mengusulkan, pengenaan cukai akan dikenakan terhadap minuman mengandung pemanis baik gula dan pemanis buatan yang siap untuk dikonsumsi. Serta, konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran dan konsumsinya masih memerlukan proses pengenceran.
"Kami usulkan adanya pengecualian dalam bentuk non pabrik atau UMKM. Juga untuk yang di ekspor juga enggak karena masalahnya ke negara lain bukan kita. Subjeknya pabrikan atau importir," papar dia.
Adapun tarifnya, dia merincikan, untuk pemanis berjenis teh kemasan senilai Rp1.500 per liter dengan potensi penerimaan sebesar Rp2,7 triliun. Kemudian, karbonasi senilai Rp2.500 per liter dengan potensi penerimaan Rp1,7 triliun dan untuk produk seperti energy drink, kopi sachet hingga konsentrat lainnya sebesar Rp2.500 per liter dengan potensi penerimaan Rp1,85 triliun.
"Sehingga ada potensi penerimaan total Rp6,25 triliun. Kami belum ada hitungan dampak inflasinya, tapi akan lebih tinggi karena ini langsung dikonsumsi," tutur Sri.