Istana Pastikan Omnibus Law Tak Hapus Pesangon Pekerja
- VIVAnews/ Fikri Halim
VIVA – Salah satu yang dikhawatirkan para buruh dan pekerja, dari keputusan pemerintah untuk mengesahkan revisi 84 undang-undang melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, adalah hilangnya hak-hak pekerja.
Mengingat, ada anggapan bahwa pemerintah lebih mementingkan investor. Sehingga, untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya, hak-hak buruh dikurangi. Istana pun membantah anggapan itu.
"Pesangon tetap, sesuai UU Nomor 13 tahun 2013 (tentang Ketenagakerjaan). Upah minimum tetap, kemudian orang yang hamil itu tetap dapat. Semua yang menjadi hoaks itu tidak benar tentang pekerja," kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman, di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat 31 Januari 2020.
Fadjroel mengaku, memang ada perubahan yang dilakukan dengan Omnibus Law. Tapi tidak ada hak buruh yang dikurangi dengan kebijakan ini. Justru, pemerintah berupaya untuk melindungi pekerja termasuk sektor UMKM.
"Tentu ada yang berubah, namun terkait ketenagakerjaan tidak berubah," kata aktivis 98 itu.
Sementara itu terkait dengan upah minimum atau UMP, memang akan mengikuti pertumbuhan di daerah. Ada hitungan menentukan setiap UMP yang ada di daerah. Tetapi jika pertumbuhan di daerah sangat kecil, maka akan ada pertimbangan lain.
Meski begitu, Fadjroel mengaku bahwa Presiden Jokowi tidak ingin dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini, merugikan buruh atau masyarakat.
"Itu pesan pak presiden, tidak boleh upah minimum pekerja lebih rendah dari pada yang sebelumnya, tidak boleh. Karena Presiden Jokowi mengatakan setiap perubahan UU apapun termasuk kebijakan pemerintah itu harus berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, hanya itu," jelasnya.
Surat Presiden atau Surpres draft RUU Omibus Law Cipta Lapangan Kerja ini, masih di tangan pemerintah. Fadjroel mengaku, sore ini akan ia lihat apakah sudah rampung. Pemerintah ingin cepat, sehingga bisa langsung diserahkan ke DPR untuk dibahas.