Bank Dunia Ungkap Kelemahan RI Kalah Dagang di Pasar Internasional
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Bank Dunia mengungkapkan, Indonesia masih sangat lemah dalam memanfaatkan rantai nilai global (RNG) atau global value chain. Padahal, satu persen peningkatan partisipasi dalam RNG diperkirakan akan mendorong tingkat pendapatan per kapita lebih dari satu persen.
Kepala ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Kawasan Pasifik, Aaditya Mattoo menjelaskan, partisipasi tersebut dapat dilihat dari bagaimana kegiatan impor suatu negara ditujukan untuk melakukan ekspor. Sedangkan, keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global memiliki beberapa segi yang bertolak belakang.
Misalnya, sebagai pengekspor komoditas mentah seperti minyak kelapa sawit dan batu bara, yang digunakan oleh negara-negara lain untuk memproduksi dan mengekspor kosmetik dan minyak pelumas.
Sedangkan, sebagai importir dari bahan kain dan besi baja untuk memproduksi dan kemudian mengekspor pakaian jadi dan kendaraan roda empat, partisipasi Indonesia rendah dan semakin melemah.
"Mengimpor untuk mengekspor merupakan inti dari RNG, namun tidak mudah dan menjadi semakin sulit bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mengimpor," tegas dia saat peluncuran World Development Report (WDR) 2020 di Jakarta, Selasa, 28 Januari 2020.
Menurut dia, kondisi itu tidak terlepas dari beban biaya inspeksi pra-pengiriman yang setara dengan 41 sen per dolar Amerika Serikat dari impor. Ada pula ketentuan pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebanyak 29 sen, dan persetujuan impor sebanyak 13 sen.
"Pada 2018, lebih dari 60 persen nilai impor terkena dampak peraturan pelarangan impor, dibandingkan dengan 20 persen di tahun 2009," tegasnya.
Kelemahan Indonesia dalam memanfaatkan RNG, lanjut dia, diperparah oleh tingginya biaya transportasi. Yang disebabkan oleh peraturan yang membebani dan distorsi dalam harga pelabuhan atau port pricing.
"Proses pre clearance dan clearance untuk impor di Indonesia memakan waktu 200 jam, lima kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Malaysia. Biaya penggunaan fasilitas pelabuhan di Tanjung Priok lima kali lipat dari pelabuhan di Singapura dan dua setengah kali lipat dari pelabuhan di Yangon, Myanmar," tuturnya.