Mengukur Potensi Perang Dunia Ketiga akibat Konflik Iran-AS
- abc
Sejumlah pengamat telah menyampaikan kekhawatiran jika konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran akan menjadi awal terjadinya Perang Dunia Ketiga.
Kemungkinan Konflik Terbuka Iran-AS
- Iran tidak memiliki banyak dukungan militer kuat dibandingkan Amerika Serikat
- Dukungan untuk Iran kebanyakan dari negara pemerintah Shiah, seperti Irak, Suriah, dan Lebanon
- Iran mungkin akan terus melakukan perang "tidak langsung" di kawasan Timur Tengah
Kalau memang terjadi, lantas siapa saja yang akan jadi sekutu Iran dan siapa yang akan membantu Amerika Serikat?
Situasi di kawasan Timur Tengah semakin memanas, setelah serangan drone milik Amerika Serikat yang menewaskan jenderal Iran, Qassem Soleimani, dekat bandara Irak, Baghdad pekan lalu.
Iran kemudian membalas dengan meluncurkan belasan peluru kendali ke dua pangkalan militer Irak, yang juga menampung tentara AS.
Menyusul serangan rudal hari Rabu (8/1/2020), Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, mengeluarkan pernyataan di Twitter bahwa Iran tidak berusaha "meningkatkan ketegangan ataupun perang."
Namun beberapa jam setelah serangan rudal tersebut, sebuah pesawat penumpang Ukraina International Airlines yang terbang dari Bandara Imam Khomeini di Tehran jatuh dan menewaskan seluruh 176 orang di dalamnya.
Sekarang diketahui dari informasi intelijen sejumlah negara, pesawat Boeing 7370-800 itu telah ditembak jatuh oleh rudal Iran, walau mungkin motifnya menurut beberapa pejabat negara Barat mungkin "tidak sengaja dilakukan".
Bagaimana kemungkinan Perang Dunia Ketiga?
Gambar Presiden Donald Trump yang dilempari dengan cat oleh peserta unjuk rasa di Manila, Filipina menentang serangan AS terhadap jenderal Qassem Soleimani.
AP: Aaron Favila
Menyusul pernyataan Menlu Iran, Javad Zarif, bahwa serangan rudal Iran ke Irak sudah selesai, ketegangan antara Iran dan AS menurun. Namun secara keseluruhan situasi di Timur Tengah masih panas.
Direktur Iran Project for Crisis Group, Ali Vaez, mengatakan masalah yang menimbulkan ketegangan dan konflik di Timur Tengah masih ada.
"Ketegangan yang ada sekarang karena tekanan AS yang membuat perekonomian Iran memburuk dan mendorong tindakan balasan yang dilakukan Iran," kata Ali.
Tindakan balasan yang sudah dilakukan Iran antara lain serangan terhadap tanker minyak yang melewati Selat Hormuz, serangan fasilitas milik AS di Timur Tengah, termasuk pangkalan militer di Irak baru-baru ini.
"Ini sudah menciptakan tiga kali kemungkinan adanya konfrontasi militer Iran dan AS dalam enam bulan terakhir," tambah Vaez.
"Sepanjang tekanan maksimum tetap dipertahankan dan pemerintahan Trump malah mengatakan akan melipatgandakan tekanan, saya kira sumber ketegangan tetap ada. Kemunculan konflik baru tinggal masalah waktu saja."
Namun kemungkinan terjadi perang terbuka antar kedua negara diperkirakan kecil, karena kedua belah pihak sudah mengatakan mereka sama sekali tidak menginginkan perang.
"Saya kira yang akan dilakukan Iran, melihat timpangnya kekuatan militer kedua negara, adalah melakukan atau terlibat konflik di tempat lain secara tidak langsung." tambahnya.
Dalam jangka pendek, Ali Vaez mengatakan usaha sekutu Iran untuk mengusir AS dari Irak akan terus terjadi.
Diantaranya lewat serangan roket atau bom pinggir jalan, juga sasaran lainnya seperti fasilitas minyak atau kapal yang melintas di Teluk.
Siapa saja sekutu Iran?
Mahasiswa Irak di Basra yang melakukan unjuk rasa terhadap intervensi Iran dan Amerika Serikat di negeri mereka hari Rabu (8/1/2020).
Reuters: Essam al-Sudani
Pemimpin tertinggi Iran, Sayyid Ali Hosseini Khamenei, bukan saja adalah pemimpin politik resmi.
Ia juga pemimpin keagaaman tertinggi bagi warga Muslim Shiah di seluruh dunia, dikenal dengan sebutan Shia Marja atau Ayatollah.
Di kawasan Timur Tengah, Iran sudah memberikan dukungan politik dan militer kepada pemerintahan Shiah dan juga kelompok milisi dan kemudian mereka menyatakan dukungan pada Iran.
Irak yang memiliki pemerintahan yang didominiasi kelompok Shiah, sejak jatuhnya Saddam Hussein, memiliki hubungan diplomatik dan militer yang dekat dengan Iran dan AS.
Namun serangan Iran terhadap pangkalan militer di Irak yang dianggap pelanggaran atas kedaulatan wilayah Irak mengubah hubungan Irak dan Amerika Serikat.
Menyusul tewasnya Jenderal Qassem Soleimani, parlemen Irak meloloskan resolusi menyerukan agar pasukan AS ditarik dari Irak.
Kelompok milisi Shiah yang setia ke Iran, termasuk Kataib Hezbollah, dimana pemimpinnya, Abu Mahdi al-Muhandis tewas bersama jenderal Soleimani menjadi bagian penting dalam tubuh militer Irak.
Minggu lalu, elemen dari Kataib Hezbollah melakukan serangan terhadap kedutaan AS di Bahgdad. Mereka mengancam akan melakukan serangan lagi bila AS tidak menarik diri dari Irak.
Kelompok Hezbollah di Lebanon mengeluarkan pernyataan mengecam pembunuhan Soleimani, dan menyerukan blokade terhadap barang-barang asal AS dan penutupan kedutaan AS di Baghdad.
Hezbollah juga berjuang dengan Iran di Suriah guna mendukung pemerintahan Assad yang merupakan sekutu mereka.
Iran juga mendukung kelompok pemberontak Houthi di Yaman dan kelompok Hamas di Palestina.
Peta kekuatan politik dan militer di Timur Tengah yang rawan dengan konflik.
ABC News: Jarrod Fankhauser
Lalu siapa yang membantu Amerika Serikat?
Amerika Serikat memiliki kekuatan militer yang tidak bisa diimbangi oleh Iran.
US Navy: Mohamed Labanieh
Secara militer Amerika Serikat memiliki kemampuan militer jauh lebih besar dari Iran.
AS juga memiliki sekutu militer dan politik yang kuat di seluruh dunia.
Namun apakah para sekutu ini akan membantu bila ada konflik terbuka dengan Iran?
Di kawasan Timur Tengah, AS akan mendapat dukungan dari sekutu kunci yang terancam bila ketegangan meningkat.
Hari Rabu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memuji Presiden Trump atas tewasnya jenderal Soleimani dan mengatakan Israel akan mendukung AS.
Meski negaranya kecil, namun kekuatan militer Israel, tidak saja besar di kawasan Timur Tengah, namun juga di tingkat dunia.
Walau Arab Saudi adalah juga sekutu kuat AS, khususnya menghadapi agresi Iran, namun sejauh ini belum menunjukkan dukungan terbuka.
Hari Rabu (08/01), Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi mengatakan kerajaan dan pemimpinnya "mendukung saudara kami Irak" serta berusaha sekuat mungkin menghindari terjadinya perang.
Dimana posisi Uni Eropa dalam hal ini?
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen (kiri) dan Kepala urusan Luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dalam jumpa pers di Brussels hari Rabu (8/1/2020).
AP: Virginia Mayo
Sekutu Amerika Serikat di Eropa sudah menyerukan agar ketegangan diturunkan.
Uni Eropa dan Menteri Luar Negeri Prancis mendorong dilanjutkannya dialog untuk menenangkan situasi.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson dalam sidang Parlemen hari Rabu, menyerukan semua pihak agar tenang dan mengatakan jenderal Iran yang tewas itu "berlumur darah di tangannya".
Dr Bryce Wakefield, direktur eksekutif Australian Institute of International Affairs mengatakan kecil kemungkinannya akan ada konflik dalam skala besar.
Namun bila memang terjadi, Amerika Serikat "akan menekan sekutunya untuk mengirimkan pasukan, termasuk juga Australia".
Beberapa negara di Eropa, khususnya Inggris akan membantu AS, namun menurut Dr Wakefield, negara seperti Jerman dan Prancis besar kemungkinan tidak akan terlibat secara militer.
Namun perang terbuka antara Iran dan Amerika Serikat tidak akan menguntungkan kedua belah pihak pula, kata Dr Wakefield.
"Perang terbuka bisa berarti berakhirnya rejim di Iran, namun biayanya juga akan sangat mahal bagi AS, dalam hal korban jiwa, dan juga keuangan dan sumber daya lain yang harus dikerahkan," kata Dr Wakefield.
Baca artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini.