Alasan Kasus Reynhard Sinaga Baru Dirilis Kelar Vonis

Reynhard Sinaga sekarang harus mendekam sedikitnya 30 tahun di penjara.
Sumber :
  • abc

Menyusul pemberitaan hukuman yang dijatuhkan terhadap pria asal Indonesia, Reynhard Sinaga, atas tindak pemerkosaan di Inggris, sebagian warga mempertanyakan mengapa persidangannya tidak pernah diberitakan sebelumnya?

Pengadilan di Manchester menyatakan Reynhard Sinaga, 36 tahun, bersalah atas 159 tindak pelanggaran seksual dan harus menjalani hukuman seumur hidup di penjara, hari Senin (6/1/2020).

Di hari yang sama ketika menjatuhkan keputusan, Hakim Suzanne Goddard kemudian mencabut larangan bagi media untuk memberitakan kasus tersebut.

Berbagai media asal Inggris, termasuk BBC dalam Bahasa Indonesia, kemudian memberitakan kasus ini besar-besaran.

Dalam 24 jam, BBC menurunkan sedikitnya lima laporan lengkap mengenai persidangan, keterangan dari polisi, bahkan berusaha menghubungi keluarga Reynhard Sinaga di Indonesia untuk menanggapi keputusan pengadilan.

Sejumlah warga Indonesia, termasuk di jejaring sosial, kemudian bertanya mengapa media yang sudah memiliki laporan sebegitu lengkap, padahal sebelumnya, tidak diketahui adanya persidangan Reynhard.

Terlebih setelah diketahui ia sudah beberapa kali mengikuti persidangan dan dinyatakan sebagai "pelaku pemerkosaaan terbesar dalam sejarah Inggris".

Kronologis Kasus Reynhard Sinaga Kronologis Kasus Reynhard Sinaga

Januari 2015 - Mei 2017 Reynhard Sinaga melakukan tidak penganiayaan seksual dan pemerkosaan terhadap 48 pria di Manchester.

1 Juni - 10 Juli 2018 Menjalani sidang pertama, Reynhard dinyatakan bersalah atas 31 tindak pemerkosaan, 3 tindak percobaan pemerkosaan, dan enam tindak penganiyaan seksual.

1 April - 7 Mei 2019 Persidangan kasus kedua, ia dinyatakan bersalah atas 49 tindak pemerkosaan, 5 percobaan pemerkosaan, dan satu penganiayaan seksual. Reynhard dijatuhui hukuman 20 tahun penjara untuk dua persidangan.

16 September - 4 Oktober 2019 Kasus ketiga mulai disidangkan, ia dinyatakan bersalah atas 26 tindak pemerkosaan, satu tindak penetrasi seksual, dan lima penganiayaan seksual.

2 Desember-20 Desember 2019 Persidangan keempat, Reynhard dinyatakan bersalah melakukan 30 tindak pemerkosaan dan dua tindak penganiayaan seksual.

6 Januari 2020 Dijatuhi sedikitnya 30 tahun penjara untuk kasus ketiga dan keempat. Ia dinyatakan bersalah untuk empat persidangan terpisah dengan 159 pelanggaran, yakni 136 pemerkosaan, 8 percobaan pemerkosaan, 14 penganiayaan seksual dan 1 penetrasi seksual.

"Mengapa tidak ada berita sebelumnya? Apakah memang ditutup-tutupi karena alasan tertentu?" kata sejumlah komentar di jejaring sosial.

Endang Nurdin dari BBC Indonesia terlibat mengikuti persidangan Reynhard dan membuat laporannya untuk BBC.

Kepada wartawan ABC Indonesia di Melbourne, Sastra Wijaya, ia mengatakan persidangan Reynhard, yang dibagi dalam 4 persidangan terpisah, memang dilarang untuk diberitakan di media sampai semua persidangan selesai.

"Pertimbangan utama hakim adalah untuk melindungi para korban. Para korban mengalami trauma mendalam," kata Endang hari Rabu (8/1/2020).

Ia menambahkan pemberitaan mengenai kejadian ini hanya akan muncul sekali saja selesai sidang selesai, untuk mengurangi kemungkinan para korban diingatkan kembali oleh peristiwa yang menimpa diri mereka setiap kali ada persidangan.

Tak hanya diduga korbannya ada 100 orang, kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard juga melibatkan banyak orang dalam penyelidikan dan persidangan.

Kejahatan yang dilakukan Reynhard di Manchester berlangsung dari tahun 2015 sampai tahun 2017, ketika ia ditangkap polisi.

Sidang untuk kasus tahap pertama, berlangsung selama lima minggu dilakukan antara tanggal 1 Juni sampai 10 Juli tahun 2018, lebih dari 12 bulan setelah penahanan Reynhard.

Polisi dan jaksa penuntut dihadapkan pada begitu banyaknya korban yang harus dihubungi.

Belum lagi mengumpulkan barang-barang bukti sebelum bisa melakukan penuntutan dengan jelas terhadap Reynhard, yang saat itu sedang menjalani pendidikan doktoral di Manchester.

Diperlukan waktu 18 bulan untuk menyidangkan seluruh kasusnya.

Kasus untuk persidangan tahap keempat berlangsung antara tanggal 2 sampai 20 Desember 2019, dan Reynhard untuk terakhir kalinya dinyatakan bersalah melakukan 30 tindak pemerkosaan dan 2 tindak penganiayaan seksual.

Menurut Endang Nurdin dari BBC, setelah juri menyatakan Reynhard bersalah, hakim memutuskan bahwa persidangan akan dilanjutkan tanggal 6 Januari 2020.

Alasan ditundanya penjatuhan hukuman adalah dibutuhkannya petugas konseling untuk mendampingi para korban mempersiapkan diri bila media memberitakan.

"Setelah tanggal 20 Desember liburan Natal, sehingga para petugas konseling juga liburan, mereka yang mendampingi para korban ketika izin pemberitaan dicabut," kata Endang Nurdin.

Reynhard Sinaga yang terekam dalam gedung apartemennya di Manchaster, Inggris.

Foto: Greater Manchaster Police

Trauma dalam yang dialami para korban

Endang Nurdin berada di ruang sidang ketika hakim menjatuhkan hukuman terhadap Reynhard Sinaga, hari Senin.

Ia menggambarkan betapa mendalamnya trauma yang dihadapi oleh salah seorang korban yang ada yang hadir dalam sidang vonis itu.

"Kalau bukan karena ibu saya, saya sudah bunuh diri," kata seorang korban, seperti diungkapkan jaksa penuntut Ian Simkin, sebelum hakim menjatuhkan hukuman.

"Dia predator setan. Saya ceritakan kasus saya kepada ibu saya dan dia langsung muntah. Adik perempuan saya histeris saat saya menangis. Saya tidak pernah menangis karena saya anak yang paling kuat di keluarga," cerita yang lain.

Menurut Endang, Iam Simkin juga menyebut ada mahasiswa yang terpaksa drop-out karena depresi, ada yang keluar dari pekerjaan, hingga ada yang terpaksa berpisah dari pasangannya.

Tapi ada pula korban yang hingga kini belum berani mengungkapkan apa yang terjadi kepada keluarga ataupun teman.

Suasana apartemen Reynhard Sinaga di Manchester dimana dia melakukan tindak pemerkosaaan.

Foto: Supplied

Mengapa masih ada pelarangan pemberitaan?

Di Indonesia, jarang sekali hakim pengadilan meminta agar sebuah kasus tidak diliput oleh media.

Tapi di negara seperti Inggris dan Australial, permintaan ini sering kali dilakukan.

Ini terutama menyangkut kasus yang menurut hakim adanya pemberitaan media akan mempengaruhi juri untuk membuat keputusan akhir.

Hal yang lain adalah berkenaan dengan kasus penganiayaan atau tindak seksual, dengan dampak dari apa yang diungkapkan di pengadilan akan dirasakan oleh korban maupun warga biasa.

Oleh karena itu, jalannya sidang dari hari ke hari tidak diberitakan, namun kesempatan pemberitaan hanya dikeluarkan setelah sidang selesai, seperti dalam kasus Reynhard Sinaga.

Dalam sistem hukum di Inggris dan Australia, media yang melanggar larangan pemberitaan tersebut bisa dikenai denda ataupun hukuman penjara bagi wartawan yang memberitakan.

Sebelum adanya jaman digital, larangan tersebut mudah dilakukan karena jumlah media yang terbatas.

Namun kini, dengan begitu banyaknya pihak yang bisa memberitakan apapun lewat menjamurnya media sosial, hakim masih berusaha untuk memberlakukan larangan tertentu, walau keefektifannya diragukan.

Dalam beberapa kasus, seperti Kardinal Katolik di Melbourne, George Pell, yang dinyatakan bersalah Desember 2018, media dilarang memberitakannya karena masih ada kasus lain yang mungkin disidangkan.

Beberapa media kemudian menyatakan keberatan atas keputusan hakim, karena keputusan bersalah sudah beredar luas di internet, terutama dari pemberitaan di luar Australia.

Sebagian media di Australia terpaksa menerima keputusan hakim tersebut dan baru melaporkan kasus keputusan Kardinal George Pell beberapa pekan kemudian.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia