Hubungan Iran-AS Memanas, Ekonomi RI Diprediksi Ikut Kena Imbas

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara
Sumber :
  • Instagram.com/@bhimayudhistira

VIVA – Hubungan Iran-AS masih panas usai pembunuhan Komandan Militer Iran, Qasem Soleiman. Jenderal paling berpengaruh di Iran itu tewas dalam serangan udara dari militer AS di bandara Baghdad, Irak pada Jumat 3 Januari 2020. 

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, memanasnya hubungan Iran dan Amerika akan memiliki dampak jangka panjangnya di pasar keuangan, berupa volatilitas yang semakin tidak menentu, termasuk terhadap Indonesia.

"Di pasar keuangan dampaknya adalah volatilitas yang membahayakan ekonomi dalam jangka panjang. Investor makin takut berinvestasi ke pasar negara berkembang," kata Bhima kepada VIVAnews, Senin 6 Januari 2020.

Dia melanjutkan, ada kecenderungan semakin banyaknya investor yang bermain aman mulai dari membeli dolar atau emas. "Harga emas dunia telah naik 2,19 persen dibandingkan tahun lalu dan indeks dolar menguat tipis 0,51 persen dalam sepekan terakhir," kata dia.

Dampak dari ketegangan ini dalam jangka panjang, menurutnya, juga akan terlihat dari harga BBM dan listrik yang berisiko naik, daya beli merosot, rupiah melemah, investor menyimpan di aset aman, dan kinerja ekspor maupun investasi makin berat.

"Dampak ketegangan AS dan Iran paling cepat dirasakan ke harga minyak mentah dunia yang meroket lebih dari 4 persen per penutupan Jumat lalu, dan berimbas pada beban subsidi BBM, dan tarif listrik yang bengkak di awal 2020," kata dia.

Bhima melanjutkan,  asumsi harga minyak Indonesian Crude Price (ICP) tahun 2020 dalam APBN adalah US$63 per barel sementara harga acuan Brent hari ini telah mencapai US$68,6 per barel. 

"Di sisi lain, harga BBM non subsidi jenis pertamax, pertalite maupun dex pun berisiko mengalami penyesuaian. Ini ujungnya adalah inflasi yang lebih tinggi dibanding tahun 2019," ujarnya. 

Jika tekanan pada harga kebutuhan pokok naik, lanjut dia, ujungnya daya beli tertekan. "Dan pertumbuhan ekonomi (RI) diprediksi merosot di bawah 4,8 persen," ucapnya.