Di Mana Posisi Indonesia Terkait Kasus Minoritas Uighur di China?

Reuters/T. Peter
Sumber :
  • dw

Dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Cina, Wang Yi, di Madrid, Spanyol, Menlu Indonesia, Retno Marsudi, meminta informasi mengenai perkembangan situasi di Xinjiang.

Kebijakan Cina terhadap kaum minoritas Uighur di Xinjiang memang telah menyita perhatian internasional. Berdasarkan laporan aktivis hak asasi manusia, Cina diduga telah melakukan cuci otak terhadap kaum minoritas di Xinjiang dan menempatkan jutaan orang di kamp-kamp konsentrasi.

Atas pertanyaan tersebut, Menlu Cina, Wang Yi, menegaskan komitmennya bahwa kebebasan beragama umat muslim di Xinjiang dijamin oleh negara.

Selain mempertanyakan masalah Xinjiang, dalam pertemuan para menteri luar negeri se-Asia dan Eropa di Madrid ini, Menteri Retno juga menyatakan bahwa Cina adalah mitra strategis Indonesia.

"Tahun 2020 yang merupakan perayaan 70 tahun hubungan RI-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi momentum penting bagi penguatan Kemitraaan Strategis Komprehensif RI-RRT," ujar Retno seperti dikutip dari siaran pers Kementerian Luar Negeri, Selasa (17/12).

Pertanyaan Menlu Retno Marsudi terhadap mitranya dari Cina ini muncul menyusul sejumlah kritik yang mengatakan bahwa negara-negara yang berpenduduk muslim cenderung bungkam terhadap apa yang terjadi terhadap minoritas Uighur. Kritik terbaru dipublikasi dalam artikel harian Wall Street Journal (WSJ) yang melaporkan bahwa Cina melakukan pendekatan terhadap sejumlah organisasi kemasyarakatan agar tidak bersuara.

NU dan Muhammadiyah tolak tuduhan "telah dibungkam"

Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sama-sama menyangkal tuduhan bahwa organisasinya telah dibujuk Cina agar tidak bersuara tentang kasus Uighur.

Muhammadiyah pada Selasa (17/12) mengeluarkan siaran pers yang mengatakan bahwa pemberitaan WSJ dinilai menyudutkan Muhammadiyah, NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta bersikap tidak adil. Organisasi ini pun meminta agar media tersebut meminta maaf atau mereka akan menempuh jalur hukum.

Muhammadiyah juga mendesak pemerintah Cina untuk lebih terbuka dalam memberikan informasi dan akses kepada komunitas internasional mengenai kebijakan mereka di Xinjiang dan masyarakat Uighur.

"Pemerintah Cina harus menghentikan semua pelanggaran hak asasi manusia, khususnya yang terjadi pada warga Uighur. Pemerintah Cina harus menyelesaikan masalah Uighur secara damai dengan berdialog dengan tokoh-tokoh Uighur, dan harus memberi umat Islam kebebasan untuk melakukan ibadah dan mempertahankan identitas mereka," demikian tulis Muhammadiyah dalam siaran persnya.

Kepada pemerintah Indonesia, Muhammadiyah juga mendesak agar pemerintah menindaklanjuti aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas terhadap dugaan pelanggaran HAM di Uighur.

"Pemerintah Indonesia harus lebih aktif memainkan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dalam memobilisasi diplomasi untuk menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang dan negara-negara lain."

Senada dengan Muhammadiyah, dalam pesan singkat yang diterima DW Indonesia pada Senin (16/12), Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faisal Zaini, juga mengatakan bahwa pemberitaan WSJ tentang adanya rayuan dan bujukan pemerintah Cina kepada NU agar tidak berkomentar soal muslim Uighur adahal hal yang tidak benar.

Helmy mengatakan bahwa NU tidak menerima aliran dana berbentuk apa pun dari pemerintah Cina terkait isu muslim Uighur.

"Kedua, sikap NU sejak awal sudah jelas. Prinsipnya adalah menolak segala bentuk kekerasan dan perlakuan yang mencederai kemanusiaan," ujar Helmy lewat pesan singkat yang diterima DW Indonesia.

Helmy juga menegaskan bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang independen yang tidak terikat dan oleh karena itu tidak bisa didikte oleh pihak mana saja.

Di mana posisi Indonesia terkait masalah Uighur?

Pemberitaan terkait dugaan represi Cina terhadap minoritas Uighur selama ini banyak datang dari aktivis hak asasi manusia dan bocoran laporan yang didapatkan oleh media-media asing.

Sementara pemimpin Uighur yang berada di pengasingan telah menyerukan agar dunia bertindak keras terhadap Cina, pemerintah Swiss juga telah meminta Cina supaya memberi akses kepada penyidik PBB untuk masuk ke wilayah yang dipertanyakan ini. Namun pemerintah Indonesia selama ini dikritik karena tidak begitu vokal mempertanyakan isu Uighur kepada pemerintah Cina.

Nanto Sriyanto, peneliti bidang perkembangan politik internasional pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa sikap pemerintah Indonesia yang demikian ini berkaitan dengan pengakuan bahwa masalah Uighur adalah masalah internal Cina.

"Kita mengakui kedaulatan bangsa lain, dan dalam batas-batas tertentu kita tidak bisa terlalu banyak memberikan kritisi karena wilayah perhatian kita masih sekitar Asia Tenggara. Bisa dilihat di kasus Myanmar, Indonesia dan negara ASEAN lainnya lebih memilih jalan yang kita kenal sebagai Asian Way," ujar Nanto kepada Deutsche Welle Indonesia, Selasa.

Nanto lebih lanjut mengatakan bahwa terlepas dari pemberitaan oleh media massa dan aktivis HAM, pengetahuan objektif yang beredar di masyarakat terkait kasus di Xinjiang sangat terbatas.

"Seberapa besar pengetahuan kita tentang kondisi Uighur? Di satu sisi Cina melakukan semacam 'public diplomacy' dengan elemen-elemen muslim di Indonesia, yang lebih bersifat people to people diplomacy. Tetapi secara pemerintahan kita juga tidak pernah punya cukup pengetahuan tentang apa yang terjadi sebenarnya di Uighur, karena dalam ranah sesama pemerintah tidak pernah ada komunikasi yang membahas Uighur," kata Nanto.

Cina memang memandang isu kedaulatan dan kesatuan sebagai masalah yang sensitif. "Uighur adalah salah satunya, termasuk Tibet, Taiwan bahkan Laut Cina Selatan buat mereka itu harga mati.... Dialog di tingkat akademik pun terkesan kaku, Ini jadi semacam satu komando dari atas ke bawah."

Dengan demikian, Nanto mengatakan wajar bahwa isu-isu itu tidak akan ada dan dibahas dalam dialog antarnegara.

"Bahkan mitra-mitra Cina seperti Turki juga melakukan pendekatan ynag hampir tidak jauh berbeda dengan Indonesia karena itu adalah isu hard core-nya Cina yang kalau pun negara lain masuk maka Cina akan dengan tegas menegasikan hal itu."

Rumitnya hubungan Indonesia dan Cina

Menurut data yang dirilis Kemlu RI, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan total nilai perdagangan kedua negara pada 2018 mencapai 72,6 miliar dolar AS. Selain itu, Cina juga adalah investor asing ketiga terbesar, dengan total nilai investasi pada tahun 2018 mencapai 2,3 miliar dolar AS.

Jika saat ini hubungan Indonesia dan Cina terkesan hangat, ternyata tidak selalu berjalan demikian. Pada kenyataannya, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina terbilang cukup rumit. Setelah sempat membeku pada tahun 1967, hubungan kedua negara baru kembali dinormalisasi pada awal tahun 1990-an.

Namun kemudian pecah kerusuhan yang bersifat rasial di Medan pada tahun 1994. "Pada saat itu pemerintah Indonesia menganggap Cina telah mencampuri urusan (dalam negeri) Indonesia. Lalu 1998 ada juga kerusuhan etnik namun saat itu (pemerintah) Cina menahan diri, tapi yang bergerak (bersuara kritis) adalah komunitas diaspora Tionghoa internasional baik itu di Taiwan, Hong Kong maupun dari Cina daratan," ujar Nanto dari LIPI kepada DW Indonesia.

Meski telah kembali memiliki hubungan diplomatik, Nanto mengakui bahwa pada level emosi di tingkat masyarakat, masih ada dua hal penting yang tetap membayangi hubungan antara masyarakat Indonesia dan Cina, yaitu aspek komunisme dan sentimen Cina itu sendiri.

Padahal, ia mengatakan, yang ada dalam benak masyarakat Indonesia terhadap Cina bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan di sana, semikian pula sebaliknya.

"(Persepsi) itu masih ada sampai saat ini. Ini adalah pekerjaan rumah hubungan kedua negara. Pada level hubungan antara elit telah tinggi, tapi pada level masyarakat kita masih punya celah-celah mispersepsi," ujar Nanto.

ae/vlz (berbagai sumber)