Pemerintah RI Diminta Perlu Bercermin Sebelum Gugat Uni Eropa ke WTO
- bbc
Pemerintah Indonesia dinilai perlu bercermin sebelum mengklaim diperlakukan tidak adil oleh Uni Eropa soal kelapa sawit dan menggugat blok ekonomi itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut Mansuetus Darto, sekretaris jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), kesejahteraan petani sawit di Indonesia tidak terhalang oleh kebijakan Uni Eropa, tapi justru oleh kurangnya penerapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia terkait sawit.
"Pemerintah memakai nama petani sawit dalam diplomasi sawitnya, ini model komunikasi yang hanya `menjual` petani tapi implementasi dan kerja nyatanya untuk petani tidak ada," kata Mansuetus kepada BBC News Indonesia.
"Pemerintah Indonesia sukses membuat kebijakan, seperti Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan, tapi semua tidak berjalan efektif di lapangan," lanjutnya.
Menurutnya, petani sawit di lapangan memiliki permasalahan yang lebih konkret seperti harga sawit yang bergejolak, kurangnya pupuk, dan rantai pasokan yang panjang.
SPKS memperkirakan sekitar 30% dari 4,5 juta petani sawit adalah petani swadaya alias petani yang mengelola lahannya sendiri dan menjual sawitnya ke tengkulak.
Meski demikian, Mansuetus mengaku jika Uni Eropa memboikot minyak sawit dari Indonesia pada 2030, petani sawit juga akan merasakan dampaknya lantaran permintaan berkurang.
"Akan ada pembatasan pasokan dari petani, sehingga risikonya buah sawit yang diproduksi petani yang menanam sawitnya di area legal, non gambut, dan tidak membakar lahan, akan terkena imbasnya. Pemerintah perlu memetakan rantai pasokan di antara petani-petani ini untuk mengetahui siapa saja petani yang baik dan tidak baik," jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan telah mengajukan gugatan melawan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan-kebijakan yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
Gugatan, yang diajukan melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, itu menentang kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa yang berencana menghentikan pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar minyak hayati pada 2030 dan mulai dikurangi pada 2024.
Negara-negara anggota Uni Eropa menyoroti masalah deforestasi alias perusakan hutan akibat adanya budidaya sawit yang masif.
Menurut Kemendag, kebijakan-kebijakan tersebut membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit sehingga berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan permintaan konsultasi, sebagai tahap inisiasi awal gugatan, telah dikirimkan pada 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa.
"Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ujarnya.
Menurut Mendag, gugatan itu menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam melawan dugaan diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa.
Pasar alternatif
Ini bukan kali pertama Indonesia berseteru soal perdagangan dengan Uni Eropa.
Bulan ini saja, Uni Eropa juga telah mengajukan gugatan ke WTO terhadap Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel, yang akan dimulai pada 1 Januari 2020. Larangan ini dinilai Uni Eropa dapat merugikan industri besi bajanya yang membutuhkan bijih nikel dari Indonesia sebagai bahan baku.
"Kita ini `kan hentikan ekspor nikel, sudah digugat sama Uni Eropa, gugat di WTO," kata Presiden Joko Widodo kepada wartawan, Senin (16/12). "Kita hadapi, ngapain takut, barang-barang kita, nikel-nikel kita, mau kita ekspor, mau enggak, kan suka-suka kita."
Pekan lalu, Uni Eropa juga menerapkan tarif dengan kisaran 8%-18%, selama lima tahun untuk biodiesel dari Indonesia lantaran Indonesia dituding memberikan subsidi untuk eksportir biodiesel lokal. Akibatnya, harga biodiesel Indonesia lebih murah di pasar Eropa ketimbang biodiesel buatan negara lain.
Pengamat menilai, ini adalah langkah terberani Indonesia sejauh ini dalam upayanya membela sawit di pasar internasional.
"Saya rasa Indonesia ingin menunjukkan bahwa kita punya power di WTO, walaupun kita harus berhati-hati karena Uni Eropa adalah rekan dagang kita dalam jangka panjang. Pemerintah ingin sekali membuktikan bahwa CPO [minyak sawit] kita ramah lingkungan dan tidak bermasalah," jelas Fithra Faisal Hastiadi, ekonom dari Universitas Indonesia.
Ahmad Heri Firdaus, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menduga Uni Eropa mendiskriminasi sawit Indonesia lantaran ingin mengganti pangsa pasar CPO dengan produk minyak nabati non-CPO, seperti bunga matahari, yang banyak tumbuh di benua tersebut.
"Yang ditakutkan sekarang adalah adanya retaliasi dari Indonesia, seperti kita menutup keran impor susu dari Uni Eropa, misalnya. Ini hal yang biasa dalam perdagangan internasional," kata Ahmad.
Meski demikian, Fithra mengatakan hubungan dagang Indonesia dan Uni Eropa secara umum masih bagus. Kedua pihak saat ini tengah merumuskan perdagangan komprehensif Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) dan saling gugat di antara keduanya tidak berpotensi membatalkan perundingan.
"Perseteruan Indonesia dengan Uni Eropa terkait CPO sudah lama, tapi pemerintah belum terlihat akan membatalkan rencana mewujudkan I-EU CEPA," jelas Fithra.
"Jika tercapai, Indonesia akan memberikan sinyal positif bahwa kita bisa patuh pada aturan dagang dengan Uni Eropa, apalagi kita mengincar peningkatan reformasi institusi kita. Uni Eropa juga butuh Indonesia, dari segi pasar, tenaga kerja, dan bahan baku industri."
Fithra menilai pemerintah bisa mulai melirik pasar alternatif bagi sawit. Tahun lalu, Uni Eropa adalah pasar sawit terbesar kedua Indonesia, di bawah India. China dan negara-negara Afrika tercatat sebagai pembeli terbesar ketiga dan keempat.
"Di Afrika, produk kita bisa terserap. Selain itu kita juga harus mengejar perdagangan bilateral dengan Inggris kalau mereka benar-benar keluar dari Uni Eropa. Dari simulasi kami dengan Kementerian Perdagangan, ini adalah skema yang paling ideal bagi industri kita jika Brexit terjadi," kata Fithra.
Bertarung di WTO
Tahun lalu Indonesia menang atas enam gugatan yang diajukan terhadap Uni Eropa terkait pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, yang diterapkan blok tersebut pada 2013, untuk produk biodiesel asal Indonesia di peradilan WTO.
Bagaimanapun untuk kasus non-tarif seperti sawit kali ini, pengamat menilai buktinya akan lebih sulit didapat.
Apalagi, menurut Ahmad Heri Firdaus, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), rekor Indonesia di peradilan sengketa dagang kurang bersinar lantaran lemahnya argumentasi dan bukti.
"Kita perlu membawa argumen yang kuat dilandasi kajian akademik yang lengkap dan bukti empiris yang kuat, sehingga kita bisa menang. Selama ini kita kalah karena argumen kita tidak kuat," jelasnya.
Setelah mengajukan gugatan, langkah berikutnya adalah mendengarkan argumentasi dan bukti dari Indonesia, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Saat proses arbitrasi bergulir, diperkirakan Indonesia tidak akan berhenti menjual sawit ke Uni Eropa lantaran harga jualnya yang cenderung lebih tinggi dibandingkan negara Asia.