Bagaimana Pengalaman Perempuan Berkulit Hitam di Kontes Kecantikan
- Getty Images (PS: hanya untuk BBC external)
Penobatan Zozibini Tunzi sebagai Miss Universe pada Minggu (08/12) melengkapi rangkaian peristiwa bersejarah.
Untuk pertama kalinya, empat kontes kecantikan dimenangi empat perempuan berkulit hitam dalam satu periode.
Selain Tunzi, terdapat Cheslie Kryst (Miss USA), Kaliegh Garris (Miss Teen USA), dan Nia Franklin (Miss America).
Mereka disebut mewakili era baru kontes kecantikan yang menjunjung keberagaman dan inklusivitas.
Secara khusus Tunzi mendapat beragam pujian, dengan kulit hitamnya dan rambut pendek nan alami.
Bahkan Miss USA 2016, Deshauna Barber, membagikan video di Instagram berisi reaksinya ketika Tunzi menang.
"Miss Universe seperti saya!" pekiknya ke kamera berulang kali.
Namun, kemenangan Tunzi dan tiga perempuan berkulit hitam lainnya bukan tanpa perjuangan keras.
Kepada BBC, Barber menceritakan bahwa peserta berkulit hitam masih mengalami diskriminasi ketika bersaing di kontes kecantikan.
Keterwakilan perempuan-perempuan berkulit hitam boleh jadi merupakan langkah pertama untuk memperbaikinya.
"Jika Anda dari sebuah kelompok yang jarang mengalami ketidakterwakilan, sulit memahami makna keterwakilan," ujar Barber.
`Saya takut mengeriting rambut`
Gabriela Taveras - perempuan kulit hitam pertama yang dinobatkan sebagai Miss Massachusetts - menyatakan salah satu masalah adalah perempuan kulit hitam sering kali tidak klop dengan definisi kontes kecantikan yang konvensional.
"Ada konsep tersendiri tentang kecantikan. Di masa lalu yang ideal adalah perempuan kulit putih," katanya.
Gabriela Taveras mengatakan rambut keritingnya "tidak pas dengan standar kecantikan Eropa". - Getty Images
Taveras memakai tiara Miss Massachusetts pada 2018, untuk kemudian bersaing di kontes Miss America dan berhasil masuk lima besar.
Salah satu keputusan sulit yang muncul tampaknya remeh, bagaimana penataan rambutnya.
"Saya ingat pertarungan antara rambut lurus versus keriting. Parah sekali."
"Saya takut mengeriting rambut karena saya tahu itu tidak pas dengan standar kecantikan Eropa."
Dia kemudian memutuskan untuk bersaing dengan rambut keritingnya yang alami. Ketika gadis-gadis muda mengatakan kepadanya bahwa mereka "begitu gembira penampilan Miss Massachusetts seperti mereka", dia tahu keputusannya tepat.
"Saya tahu bahwa saya terlihat dan merasa menjadi diri sendiri. Saya tahu saya menjadi diri sendiri dan tidak berpura-pura seperti orang lain."
Miss USA 2016, Deshauna Barber, mengaku juga takut menampilkan rambut alaminya. Karena berpikir rambut alami akan merusak peluangnya untuk menjadi juara, dia memutuskan tidak menampilkannya saat bersaing.
Namun, saat berjalan untuk terakhirnya kalinya sebagai Miss USA, dia menampilkan rambut alaminya sebagai penghargaan untuk mendiang ibunya.
"Selama bertahun-tahun saat saya berkompetisi di kontes kecantikan, dia selalu meminta agar saya menampilkan rambut afro. Tapi saat itu saya terlalu takut."
Selain soal rambut, Barber mengaku mengalami diskriminasi berdasarkan warna kulit saat berkompetisi. Kulitnya hitam kelam dan sejumlah orang, kenangnya, menganggap warna kulitnya tidak indah.
Deshauna Barber menampilkan rambut aslinya saat berjalan untuk terakhirnya kalinya sebagai Miss USA - Getty Images
`Tiada orang yang salah mengenali perempuan kulit putih`
"Pada tahun saya berkompetisi di Miss America, kumpulan perempuan berkulit non-putih adalah yang terbanyak," kata Taveras.
"Jika Anda mengetahui sejarah, berada dalam posisi tersebut luar biasa."
Namun, kondisi itu ada tantangannya sendiri. Dijelaskan Taveras, orang-orang kerap salah mengenali kontestan berkulit hitam.
"Sekali waktu saya berada di belakang panggung untuk menunggu dipanggil. Seseorang menghampiri dan berkata: `Louisiana giliranmu, kamu dipanggil`. Dia bahkan tidak percaya ketika saya bilang saya bukan orang yang dimaksud," papar Taveras.
Pembicaraan itu berlangsung beberapa lama sampai orang itu menyerah.
Orang-orang juga salah mengenali kontestan berkulit hitam walaupun di antara para konstestan tersebut, kulit mereka berbeda satu sama lain. Akan tetapi, tambahnya, "tiada orang yang pernah keliru mengenali kontestan berkulit putih".
`Mereka tidak pernah memilih perempuan sepertimu`
Taveras menceritakan pula tekanan yang dia alami sebagai perempuan berkulit hitam, yaitu membedakan antara mewakili diri dan perasaan mewakili kelompok secara keseluruhan.
"Batas kesalahannya sangat tipis. Ada standar tertentu yang tidak bisa kami konfirmasi apakah orang memperlakukan kami dengan bias secara sadar atau tidak sadar."
Menurut Taveras, kumpulan perempuan berkulit nonputih pada perhelatan Miss America tahun 2018 adalah yang terbanyak. - Getty Images
Kalaupun ketika perempuan kulit hitam memenangi kontes kecantikan, Taveras mengklaim bahwa kontestan tersebut tidak mendapat apresiasi sepatutnya.
Dia mendengar sejumlah orang berkomentar bahwa dia menang karena berkulit hitam.
"Mereka menggunakan ras saya sebagai senjata melawan saya."
Barber pernah mengalami kritik yang sama. Hal itu, menurutnya, keterlaluan karena tuduhan itu bermakna "kami tidak bisa sukses dengan kemampuan sendiri alih-alih kami adalah yang paling kompeten".
Saat Taveras bersaing untuk menjadi Miss Massachusetts pertama yang berkulit hitam, bahkan keluarganya ragu.
"Ada anggota keluarga saya yang mengatakan: `Kapan kamu menyerah? Mereka tidak pernah memilih perempuan sepertimu.`"
Itu belum seberapa. Ada saja orang yang langsung menghujat dengan kata-kata rasisme, khususnya di internet.
Baik Barber maupun Taveras mengaku pernah disebut `monyet` oleh orang-orang yang mengritik penampilan mereka.
Zozibini Tunzi menyatakan dibesarkan di dunia di mana perempuan yang tampak seperti dirinya tidak pernah dianggap cantik. - Getty Images
`Kontes kecantikan berubah`
Meski beragam tantangan yang dihadapi para perempuan kulit hitam di kontes kecantikan, Barber dan Taveras gembira terhadap para pemenang kontes kecantikan saat ini.
"Kita berada di era ketika kontes kecantikan berubah dan keadaan ini membuat banyak orang tidak nyaman, namun membuat orang seperti saya merayakan," kata Barber.
Bukan hanya perempuan kulit hitam dan kontes kecantikan, menurutnya, tapi juga setiap kelompok yang kurang terwakilkan.
"Saya menantikan untuk bisa melihat Miss Universe yang bobot tubuh para kontestannya plus, atau Miss Universe memakai hijab."
Taveras sepakat dengan pandangan itu, seraya berharap perubahan tersebut akan menolong perempuan di luar kontes kecantikan.
"Sepanjang hari saya mendengar remaja dan perempuan dewasa berbicara bahwa mereka gemuk atau mereka tidak suka wajah atau hidung mereka. Saya harap keragaman ini menginspirasi orang-orang."