Permendag soal Impor Limbah Nonbahan Berbahaya Ditolak Pengusaha

Suasana pelabuhan peti kemas.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia atau Aexipindo menolak keras Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri.

Permendag Nomor 84 Tahun 2019 yang ditandatangani Menteri Perdagangan Kabinet Kerja 2014-2019, Enggartiasto Lukita ini berlaku mulai 23 November 2019. Permendag tersebut, kemudian mendapatkan penolakan dari sebagian besar pelaku usaha, karena diibaratkan sebagai sebuah gelombang tsunami yang dapat meluluhlantakkan industri.

Ketua Umum Aexipindo, Ahmad Ma'ruf Maulana mengatakan bahwa selain mengganggu ketersediaan bahan baku, Permendag Nomor 84 Tahun 2019 ini juga dinilai minim sosialisasi. Bahkan, menurutnya, tidak sedikit pengusaha yang terkejut, karena baru mengetahui adanya regulasi baru tersebut.

"Karena itu, kami Aexipindo meminta, agar pemberlakuan Permendag Nomor 84 Tahun 2019 ini ditunda atau direvisi terlebih dahulu. Tentunya, juga dengan sosialisasi yang menyeluruh sambil memberi waktu kepada pelaku usaha industri. Jika dalam waktu satu minggu ke depan tidak digubris walau banyak penolakan, kami akan mem-PTUN-kan Permendag ini," ujar Ahmad, dikutip dari keterangannya, Senin 25 November 2019.

"Oya, saya baru mendapat kabar bahwa salah satu anggota kami di Aexipindo, yakni PT New Harvestindo akan relokasi ke Vietnam, setelah merumahkan 1.800 karyawannya. Per bulannya, mereka ekspor US$6 juta. Jadi, akibatnya kita akan kehilangan potensi tersebut," tambah Ahmad.

Dijelaskannya, impor skrap tahun ini hanya sekitar 200 ribu ton dan 80 persen olahannya diekspor. Sementara itu, impor virgin yang nantinya juga akan jadi sampah jumlahnya mencapai sekitar 3,6 juta ton. Selain itu, dalam Permendag tersebut tidak ada ketentuan impurities. Dari hasil ratas disebutkan, impurities yakni sebesar dua persen. Namun, ada surat yang menyatakan bahwa impurities itu nol persen.

Dari sekian banyak pasal yang menuai kontroversi, ia juga menyoroti ketentuan yang dimuat dalam Pasal 3 Ayat 4, yang mengatur bahwa impor limbah non-B3 sebagai bahan baku industri wajib dilakukan pengangkutan secara langsung (direct shipment) sampai di pelabuhan tujuan yang ditetapkan.

Metode seperti ini hanya diterapkan di negara-negara tertentu seperti China, Jepang, dan Australia. Sedangkan sebagian besar negara-negara Eropa, menerapkan kebijakan transhipment.

Jika metode direct shipment diberlakukan di Indonesia, akan menjadi hambatan serius bagi pertumbuhan industri dalam negeri. Karenanya, Aexipindo mencurigai regulasi tersebut adalah titipan oknum tertentu. Hal ini tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan industri dalam negeri dapat berkembang dengan baik sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Ini akan mendorong tsunami industri plastik yang ada di Batam. Karena, di sana selama ini semuanya harus transhipment dulu di Singapura. Kalau itu terjadi, maka industri-industri plastik akan mengalami tutup total, tidak bisa masuk bahan baku. Ini ada apa sebenarnya? Siapa yang menitip orderan ini? Pemerintah itu apa urgensinya sampai melakukan hal itu? Nah, jangan kesalahan dari masyarakat dipersalahkan kepada industrinya, jangan kesalahan birokrasi malah kemudian dibunuh industrinya, dibinasakan industrinya," papar Ahmad.

Ia berharap, di bawah kepemimpinan Mendag yang baru, pemerintah dapat lebih proaktif dan membina pelaku industri, terutama yang berorientasi ekspor.

"Hambatan-hambatan ini perlu Presiden tahu bahwa ini kerja Mendag yang lama. Kami berharap, Mendag yang baru ini lebih proaktif dengan dunia usaha. Tidak berpikir menjadi orang tengah tempat dititipkan kebijakan ini. Bagaimana dagang ini tumbuh industrinya dan tumbuh tradingnya. Jangan seolah-olah dititipkan oleh Kemenperin dan KLHK. Tapi Kemendag punya kepentingan bagaimana industri dalam negeri itu tumbuh. Kalau seperti ini bukannya tumbuh malah dimusnahkan," kata Ahmad.