Khawatir Ini, Kemenko Perekonomian: Belum Sepakat Revisi PP 109/2012

Demo emak-emak pelinting rokok.
Sumber :

VIVA – Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengaku belum ada kata sepakat dengan wacana revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan yang diusulkan Kementerian Kesehatan.

Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko bidang Perekonomian, Atong Soekirman, seperti dikutip dari keterangannya, Minggu 17 November 2019, menjelaskan bahwa dari beberapa kali pertemuan dengan pihak seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, belum menemukan kata sepakat untuk melakukan revisi sebagaimana yang diusulkan Kemenkes.

“Posisinya memang, yang terkait dengan revisi PP 109/2012, jadi belum ada kata sepakat dari beberapa pihak tadi,” ujarnya.

Selain itu, Kemenko Perekonomian melihat kebijakan tersebut dari beberapa sisi, termasuk industri dan penerimaan negara. “Kami melihat dari sisi tenaga kerja. Jika tidak hati-hati, aturan yang keliru bisa menciptakan pengangguran. Jadi, kami belum sepakat,” kata Atong.

Atong juga mengatakan, produktivitas Industri Hasil Tembakau (IHT) terus menurun setiap tahunnya. Adanya tambahan tekanan berupa kebijakan yang keliru, ditakutkan dapat berdampak negatif pada industri tersebut dan semakin membuat industri terpuruk. 

“Sebagaimana kita melihatnya, momentumnya, melihat industri sekarang di posisi hampir kurang lebih 500 industri tembakau, dari sebelumnya 1.000, dari sebelumnya lagi 2.000. Apabila kita mengeluarkan kebijakan yang keliru, ini akan berdampak pada industrinya itu sendiri,” tuturnya.

Selama beberapa tahun terakhir, IHT terus mengalami banyak tekanan dari berbagai sisi, khususnya regulasi yang berlebihan. Baru-baru ini pemerintah, melalui PMK No. 152/2019, memutuskan untuk menaikkan tarif cukai sebesar 23 persen dan harga eceran sebesar 35 persen yang akan diberlakukan mulai Januari 2020. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.

Tekanan pada industri ini, tentunya akan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat, mulai dari tenaga kerja dan bisnis di bidang perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkih; para tenaga kerja pabrikan; hingga pekerja dan pemilik toko ritel; serta lini usaha lain yang terkait.

Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90 ribu tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah sejalan dengan ketidakpastian hukum yang membayang-bayangi industri padat karya ini.

Atong menambahkan, PP 109/2012 yang saat ini diberlakukan masih relevan. Justru, Kemenkes seharusnya melihat pasal - pasal yang sifatnya wajib, namun belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik pada PP tersebut sebagai prioritas. Misalnya, melaksanakan program upaya menurunkan prevalensi anak terhadap rokok.

Sementara itu, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), M. Nur Azami juga menilai, rencana revisi PP 109 hanya akan mengancam eksistensi IHT, baik dari sisi keberlangsungan usaha maupun penyerapan tenaga kerja.

“Usulan revisi PP 109/2012 tersebut belum pernah disosialisasikan kepada stakeholder di sektor IHT. Selain itu, tidak dijelaskan pasal-pasal yang akan diubah," ujar Nur Azami.

Menurut Nur, aturan produk tembakau sudah cukup ketat, karena mengatur promosi produk, iklan, serta tidak menjangkau anak di bawah umur. "Aturan tersebut tidak perlu direvisi, kecuali revisi tersebut melibatkan stakeholder dan pasal-pasal di PP 109/2012 tidak memberatkan sektor industri hasil tembakau," tambahnya.