Serangan Bersenjata Tewaskan 15 Orang di Thailand, Siapa di Baliknya
- bbc
Serangan bersenjata menewaskan 15 orang dan melukai empat lainnya di Provinsi Yala, Thailand, Selasa (05/11) malam. Kelompok separatis diduga berada di balik serangan terburuk yang dialami Thailand dalam beberapa tahun terakhir.
Seorang polisi termasuk korban tewas dalam serangan di pos pemeriksaan di Provinsi Yala. Penyerang menggunakan bahan peledak, lalu menebar paku di jalan untuk memperlambat pengejaran terhadap mereka.
Sejak pemberontakan separatis muncul di Thailand selatan pada 2004 lalu, ribuan orang telah menjadi korban.
Apa yang terjadi dalam serangan itu?
Serangan terjadi Selasa (05/11) malam di Yala, salah satu dari tiga provinsi yang dilanda konflik bersenjata akibat gerakan separatis.
Kelompok separatis dipercaya menyerang pos pemeriksaa keamanan, menewaskan 15 orang termasuk seorang petugas polisi dan sukarelawan pertahanan desa.
Sukarelawan ini umumnya penduduk sipil yang dilatih untuk menggunakan senjata dan diberi tugas pengamanan desa.
Menurut BBC News Thai, beberapa orang luka serius.
Sejauh ini tidak ada bukti siapa yang berada di balik serangan, tapi Kolonel Pramote Prom-in selaku juru bicara keamanan setempat, menyatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kemungkinan besar ini adalah "pekerjaan para pemberontak".
"Ini adalah salah satu serangan terbesar akhir-akhir ini," katanya.
Mengapa ada gerakan separatis ini?
Gerakan separatis ini mencoba meraih kemerdekaan di Thailand selatan. Untuk bisa memahaminya, harus paham sejarah 100 tahun ke belakang.
Wilayah Thailand selatan dikenal dengan nama Patani, kebanyakan yang tinggal di sana adalah Muslim Melayu dan mereka punya kerajaan terpisah. Namun di awal abad ke-20, Patani menjadi bagian dari Thailand.
"Orang Muslim Melayu ini berbeda dari kebanyakan orang di Thailand baik secara budaya, etnik dan agama," kata Rungrawee Chalermsripinyorat, analis independen yang tinggal di Australia kepada BBC News.
Melayu Muslim Thailand berjuang "melawan asimilasi budaya, tetapi mereka menghadapi penindasan oleh negara", kata Rungrawee.
Apakah mereka kini masih memberontak?
Secara teknis, pemberontakan tak pernah berhenti. Namun kekerasan di Thailand selatan relatif sudah reda - hingga tahun 2004.
Pada tahun itu kelompok bersenjata menyerbu gudang persenjataan tentara, membunuh empat orang penjaga dan mengambil sekitar 400 pucuk senapan serbu. Sesudah itu muncul gelombang serangan yang dihubungkan ke kelompok separatis beretnik Melayu.
Sejak itu, konflik tak pernah berhenti, ditandai dengan lonjakan tajam sesekali dan juga masa-masa yang tenang.
Serangan hari Selasa disebut sebagai yang terbesar selama beberapa tahun terakhir dalam hal jumlah, tapi belum jelas siapa yang melakukannya dan apa penyebabnya.
Rungrawee menyebutkan serangan itu bisa saja dilakukan oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu dari tiga kelompok separatis di wilayah itu.
"Sementara ini tidak ada bukti yang nyata. Gaya serangan dan pilihan sasaran cocok dengan pola yang digunakan oleh BRN sebelumnya," jelasnya.
Bisakah ini menjadi tanda kembalinya kekerasan di Thailand selatan seperti tahun 2004?
"Kecil kemungkinannya serangan ini menandai kembalinya perang penuh bergaya militer seperti beberapa tahun lalu," kata Rungrawee.
"Ini seperti operasi militer rutin untuk mengingatkan orang akan keberadaan dan kekuatan militer mereka."
Kenapa ini penting?
Lebih dari 7.000 orang meninggal dunia di Thailand selatan sejak konflik terjadi antara pemberontak dengan pihak berwenang di tahun 2004, kata Deep South Watch, kelompok yang mengawasi tindakan kekerasan.
"Hal ini hanya sedikit mendapat perhatian internasional tapi tak berlebihan menyebut konflik ini sebagai salah satu konflik paling berbahaya di Asia Tenggara," kata Rungrawee.
Selama 15 tahun, gelombang serangan bersenjata terjadi di Provinsi Yala. - Getty Images
Namun kekhawatiran tidak hanya di Thailand. Malaysia juga khawatir akan adanya "efek tumpahan" dan konflik bisa menjadi "jalan masuk bagi kelompok jihadis transnasional".
"Konflik separatis di mana pun selalu memperlihatkan bahwa semakin lama konflik terjadi, semakin rumit situasinya," kata Rungrawee.
"Maka konflik seperti itu bisa jadi lahan subur bagi unsur-unsur yang tak dikehendaki."