26 Tahun Mati Suri, BUMN Pembuat Film 'Si Unyil' Ini Mulai Cetak Laba

Direktur Utama PFN, Judith Dipodiputro (tengah)
Sumber :
  • VIVAnews/Fikri Halim

VIVA – Perum Produksi Film Negara atau PFN kembali menancapkan kukunya di kancah perfilman Tanah Air. Setelah 26 tahun mati suri, kini perusahaan pelat merah itu mulai aktif kembali memproduksi film di Tanah Air.

Direktur Utama PFN, Judith Dipodiputro mengakui bahwa perusahaan ini bisa kembali hidup karena sinergi dari BUMN. Melalui produksi 'Si Unyil The Movie' dan banyak film lainnya diharapkan bakal terus mencetak laba.

"Sekarang kita sudah biru loh keuangan kita, keuangan kita tidak lagi merugi, sudah positif," kata Judith di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa 15 Oktober 2019.

Meski begitu, Judith masih enggan mengungkap berapa laba yang dia peroleh akhir-akhir ini. Namun, dia mengaku optimis ke depannya bisa terus mencetak laba. 

Dia juga menjelaskan pihaknya memiliki pipeline 2020-2023 untuk memproduksi film sekitar 20-an film. Diantaranya terdiri dari 15 film layar lebar, 1 film televisi dan satu serial televisi. 

Selain itu, PFN juga kini tengah menjajaki peluang kerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia memproduksi film sejarah. Diantaranya 500 tahun perjalanan Ferdinand De Magelhaens menempuh jalur rempah, 70 tahun hubungan Indonesia-Rusia, 70 tahun hubungan Indonesia-Korea.

Dia juga menguraikan, beberapa genre yang telah diproduksi antara lain adalah film sejarah seperti 1945, Hoegeng, Kairo-Tiga Sahabat Menggali Dunia dan Saimar. 

Lalu, film petualangan anak seperti Si Unyil The Movie, Lima Menerjang Badai dan beberapa film drama seperti Sabai Nan Aluih, Akad, dan Layar Terkembang.

Pada 2018 lalu, Perum PFN telah kembali memproduksi film Kuambil Lagi Hatiku. Direktur Pemasaran dan Komersial PFN, Elprisdat mengatakan pihaknya meraup untung cukup banyak dari sponsorship sekaligus memulai kembali aktivitas perum PFN.

"Kalau secara penonton enggak terlalu bagus (Kuambil Lagi Hatiku), cuma 25 ribu Tapi dari earning sponsorship kita dapat 12 miliar," ungkap Elprisdat.

Dia yakin ke depannya, bisa memproduksi film yang lebih berkualitas sekaligus menggumpulkan dana dari pihak sponsor. Dia menargetkan biaya batas bawah produksi satu film di angka Rp5 miliar dan bisa mengumpulkan dana hingga Rp100 miliar.

"Jadi kita targeting bisa Rp100 miliar untuk fundrising. Itu batas bawah yah, kan bikin film bisa berfluktuasi. Film Rp5 miliar kalau dapat penonton 400 ribu sudah BEP (break event poin). Itu hanya dari tiket, belum pendapatan lainnya," kata dia.