Optimalkan Pendapatan Negara, Batasan Produksi Sigaret Digabung

Ilustrasi Buruh Perusahaan Rokok.
Sumber :

VIVA – Indonesia Budget Center atau IBC menilai, perubahan kebijakan cukai PMK 146 Tahun 2017, merupakan awal dari persoalan yang terjadi di Industri Hasil Tembakau saat ini.

Di dalam aturan tersebut, tertuang aturan terkait penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun. Sayangnya, aturan tersebut ditunda pelaksanaannya, menyusul terbitnya PMK 156/2018.

“Akibatnya, ada potensi bagi negara untuk kehilangan penerimaan,” ujar Koordinator IBC, Roy Salam, dikutip dari keterangannya, Selasa 1 Oktober 2019.

Padahal, menurut Roy, jika pemerintah tetap menjalankan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang per tahun sesuai PMK 146, penerimaan negara dapat dioptimalkan.

Sementara itu, pegiat anti korupsi, Emerson Juntho melihat, terdapat masalah mendasar soal penyimpangan atau korupsi yang menyebabkan kerugian negara atau potensi kehilangan penerimaan negara.

“Ada tiga identifikasi praktik-praktik, di mana ini punya potensi korupsi atau hilangnya penerimaan negara. Selain soal rokok illegal dan penyalahgunaan intensif fiskal, kita melihat ada potensi penyimpangan dari pembayaran cukai rokok dari tarif terendah,” jelasnya.  

Emerson melihat, ada masalah yang cukup mendasar, yakni celah perusahaan besar asing SPM dan SKM untuk memproduksi kurang dari 3 miliar batang per tahun.

Walaupun legal, ia khawatir ini adalah upaya penyiasatan-penyiasatan pabrik rokok untuk menghindari membayar tarif cukai tertinggi.

“Paling tidak, ada dua rekomendasi. Pertama, yakni ada perbaikan kebijakan rokok, dibuat terbuka ke publik. Misalnya, pemerintah mendefiniskan ulang mana perusahaan kecil dan besar, ini menjadi penting. Kedua, mendorong keterlibatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), terkait upaya pencegahan dan optimalisasi penerimaan negara dari cukai rokok,” tutur Emerson.

Di sisi lain, Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada, mengatakan bahwa yang terjadi saat ini adalah adanya problem perencanaan yang tidak baik, yang boleh jadi karena kebijakan yang tidak berbasiskan praktik empiris.

“Saya lihat di kebijakan Kemenkeu, PMK saat ini memunculkan potensi korupsi kebijakan. Jadi, karena perencanaan kebijakannya tidak direncanakan dengan baik, maka kita bisa melihat ada persoalan-persoalan turunan yang akan disebabkan oleh kebijakan itu,” kata Oce.

Oce berharap, agar ke depan harus ada review yang melibatkan KPK. “Saya mengusulkan KPK, untuk mengaktifkan pasal 14 UU KPK. Mengaktifkan pasal 14 itu berarti KPK harus mereview terhadap kebijakan cukai. Berdasarkan review itu, KPK akan terbitkan rekomendasi revisi kebijakan kepada menteri, berkaitan dengan perbaikan kebijakan yang harus dilakukan untuk celah turunnya penerimaan negara,” ungkapnya.