Suka-Duka Kerja jadi Penerjemah Bahasa Indonesia di Australia
- abc
"Awalnya kebetulan, lama-lama menjadi kesibukan", seperti itulah Nitipustoko Subagio alias Tomik mendeskripsikan pekerjaannya sebagai juru bahasa dan penerjemah Bahasa Indonesia dan Inggris di Australia.
Pria kelahiran Solo, 87 tahun yang lalu itu tinggal di Australia Selatan bersama dengan istrinya, seorang warga Australia bernama Janet.
Tomik, yang oleh teman-teman Australianya dipanngil "Subi", melihat profesi penerjemah sebagai sesuatu yang spesial.
"Sebagai penerjemah banyak pelajaran dalam bidang perikemanusiaan yang tidak didapati dalam pekerjaan sebagai insinyur," katanya yang pernah menjadi pegawai negeri di Australia Selatan.
"[Saat] menerjemahkan di Pengadilan Keluarga, saya selalu meneteskan air mata."
Tomik adalah satu dari banyaknya penerjemah yang layak mendapat apresiasi di Hari Penerjemahan Internasional, yang diperingati setiap tanggal 30 September.
Peringatan yang ditetapkan oleh PBB dua tahun lalu itu bertujuan untuk merayakan jasa para pekerja di bidang penerjemahan yang selama ini telah membantu bangsa-bangsa di dunia dalam menembus language barrier yang sering jadi penghalang.
Selama 49 tahun, Tomik mengaku sudah banyak menerjemahkan tulisan segala macam dokumen pribadi atau politik antar negara, juga secara lisan di rumah sakit, pengadilan, sekolah, dan arbitase.
Di tahun "70-an, misalnya, ia sering diminta menerjemahkan untuk kepala negara bagian Australia Selatan (Premier) saat itu, Don Dunstan.
"Tidak banyak bakat penerjemah"
Foto: supplied
Penggemar nasi goreng udang ini mengaku suka menolong orang-orang yang membutuhkan jasanya secara cuma-cuma dan mengatakan tidak ada keinginan untuk meninggalkan profesi itu.
"Saya tidak ada maksud berhenti sebagai penerjemah. Pertama, saya senang dengan pekerjaan ini, kedua, karena profesi ini adalah pelayanan masyarakat yang sangat penting," kata Tomik yang hingga kini masih warganegara Indonesia.
"Dan tidak banyak bakat yang dapat mencapai tingkat profesional dalam pekerjaan ini," ujarnya.
Untuk bisa menjadi penerjemah Bahasa Indonesia-Inggris di Australia harus memegang sertifikat NAATI.
Tomik sudah menerima beberapa penghargaan dari komunitas penerjemah dan pemerintah, termasuk dari Pusat Penafsiran dan Penerjemahan pemerintah Australia Selatan, yang akan menerbitkan artikel singkat yang memperkenalkan Tomik kepada pembaca mereka.
Tidak berencana ganti profesi
Penerjemah asal Indonesia yang juga berkarier di Australia adalah Yoeliana Soetanto, yang tinggal di kota Melbourne.
Yoeliana, 34 tahun, mulai bekerja sebagai penerjemah di tahun 2011 dan saat ini menggeluti bidang community interpreting atau penafsiran untuk komunitas.
"Tugas saya sebagai juru bahasa di bidang ini adalah untuk membantu warga berkomunikasi mengenai kebutuhan mereka di lingkungannya masing-masing," kata perempuan kelahiran Samarinda itu.
"Misalnya dari bertemu dokter, mengurus asuransi sampai mengurus perkara mereka di pengadilan."
Lulusan Magister Ilmu Sosial di bidang Studi Penerjemahan dan Penjurubahasaan, RMIT University ini mengaku kalau memiliki pengalaman yang beragam, dari mengharukan sampai lucu.
"Tentunya kadang-kadang ada klien yang menjengkelkan dan merendahkan profesi saya," katanya dalam wawancara dengan Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"[Tapi] sebagian besar selalu menunjukkan apresiasi mereka. Klien yang sudah lanjut usia biasanya memberi saya banyak wejangan."
Sama seperti Tomik, Yoeliana tidak berencana meninggalkan pekerjaan yang menurutnya telah memberikan banyak pembelajaran hidup tersebut.
"Selama Tuhan masih mengizinkan, saya ingin tetap menjadi juru bahasa atau penerjemah."
"Bayaran sering tidak memuaskan"
Yoeliana, yang saat ini sedang gemar membaca buku seputar minimalisme dan gaya hidup "hygge", mengatakan tantangan sebagai penerjemah muncul dari bahasa yang ia terjemahkan itu sendiri.
"Walaupun sudah lama menggunakan Bahasa Inggris, saya belajar kata-kata baru setiap hari. Begitu juga dengan Bahasa Indonesia," katanya yang terinspirasi menjadi penerjemah lewat film "The Interpreter".
"Klien dari Indonesia pun datang dari berbagai latar belakang. Kadang ada yang mencampur Bahasa Indonesia dengan istilah dari bahasa daerah. Jadi saya harus memahami sebisanya apa yang mereka maksud."
Tantangan lain bagi Yoeliana adalah menyangkut soal motivasi dan jumlah pendapatan.
Foto: supplied
"Dukanya, bayarannya sering tidak memuaskan. Saya rasa ini terjadi di profesi sebagai pekerja lepas mana pun. Perlu waktu untuk membangun reputasi diri kita dan kepercayaan klien," katanya.
"Belum lagi pasar yang semakin kompetitif dan klien yang mencari-cari harga yang semakin murah. Para juru bahasa dan penerjemah semakin terdesak dan terpaksa menurunkan harga."
Namun ia berharap pada serikat pekerja penerjemah di Australia, yang menurutnya saat ini sedang giat melakukan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal industri layanan bahasa.
Generasi muda kurang minat?
Sementara Tomik merasa prihatin melihat minat generasi masa kini terhadap profesi penerjemah, yang menurutnya menurun dibandingkan dulu.
"Sayangnya saya terpaksa mengatakan, tidak banyak harapan bagi penerjemah profesional muda," kata Tomik, lulusan Teknik Mesin dari University of Adelaide di tahun 1962.
"Saya tidak melihat adanya banyak minat, apalagi bakat antara golongan muda."
Sebaliknya, Yoeliana malah melihat adanya minat yang tinggi terhadap dunia penerjemahan dan penafsiran bahasa di kalangan anak muda.
"Saya rasa banyak anak muda yang tertarik. Malah banyak praktisi dan penggiat profesi ini yang lebih muda dari saya."
Sebagai seorang penerjemah muda, ia mengaku mendapatkan banyak pelajaran kehidupan selain pengetahuan teknis dari menerjemahkan.
"Ada pelajaran teknis yang berhubungan dengan teknik penerjemahan dan penjurubahasaan [yang saya dapat] tentunya," kata penyuka masakan Jawa Timur itu.
"Tapi saya lebih ingat pelajaran hidup daripada klien saya."