Alasan KPK Dilibatkan untuk Cegah Penerimaan Cukai Bocor

Pekerja sedang mengerjakan pelintingan rokok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

VIVA – Pegiat antikorupsi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, ikut serta melakukan pencegahan potensi hilangnya penerimaan negara akibat kebijakan cukai rokok.

KPK diminta memberikan masukan kepada pemerintah, apabila terbukti adanya celah pemanfaatan tarif cukai rokok oleh pabrikan asing.

“Ini aspek penting. Divisi pencegahan KPK perlu masuk, untuk memberikan perlindungan alternatif, untuk melihat konsistensi regulasi, dan memberikan masukan. Apalagi, ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar,"  tegas Peneliti Visi Integritas, Danang Widoyoko, seperti dikutip dari keterangannya, Senin 23 September 2019.

Sejumlah  pihak, mulai dari asosiasi pabrikan rokok kecil, ekonom, dan kelompok masyarakat madani menilai, kebijakan struktur tarif cukai yang terdiri dari 10 lapisan telah membuka celah bagi pabrikan besar asing untuk membayar tarif cukai murah.

Solusi jangka panjang dan permanen untuk menutup celah kebijakan tersebut, yakni dengan menggabungkan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun.

Berdasarkan hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang, terdapat 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional didominasi para pemain besar asing yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan 1) rokok mesin SPM sebesar Rp625 per batang.

Danang yang juga mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menilai, pemerintah perlu meninjau ulang definisi perusahaan besar atau kecil pada kebijakan cukai rokok saat ini. Hal ini, juga akan membuat iklim bisnis di industri hasil tembakau menjadi sehat, sehingga tidak ada perusahaan besar yang membayar cukai rendah.

“Mengapa batasan tiga miliar batang per tahun masuk perusahaan besar, sementara yang di bawah tiga miliar masuk golongan 2. Publik belum mendapat informasi jelas, dari mana angka tiga miliar itu. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) juga harus dilibatkan, agar jelas penghitungannya, prosesnya harus dibuat terbuka,” ujar Danang.

Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan menegaskan, urgensi pemerintah untuk segera menetapkan penggabungan SKM dan SPM pada aturan kebijakan cukai menjadi tiga miliar batang per tahun.

“Tarif cukai rokok dibedakan berdasarkan produksinya. Golongan 1 untuk tiga miliar batang, jadi hanya beda satu batang saja bisa ditekan produksinya untuk masuk golongan 2. Jadi, karena satu batang, selisihnya ada Rp600 miliar potensi penerimaan yang hilang. Tidak perlu melindungi perusahaan besar,” kata Abdillah.  

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo merekomendasikan kepada pemerintah untuk, membenahi aturan cukai demi keberlangsungan industri ke depan.

Pembenahan terhadap celah-celah di kebijakan cukai rokok saat ini, diharapkan akan menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau, pengendalian konsumsi serta memberikan perhatian lebih terhadap segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mempekerjakan puluhan ribu ibu-ibu pelinting rokok.

“Sebenarnya, yang paling pas adalah kebijakan simplifikasi. Karena, kalau arahnya industri tembakau mudah diawasi, ya dibikin simple saja. Memang, harus ada waktu untuk menerimanya, karena industri tidak serta merta bisa menyesuaikan. Harus ada persiapan,” ujar Yustinus.