Pemerintah Harus Libatkan KPK Cegah Penerimaan Cukai Bocor

Bea Cukai Amankan 433,5 Ribu Batang Rokok Ilegal.
Sumber :

VIVA – Sejumlah pihak mengkritik kebijakan pemerintah mengenai tarif cukai rokok. Sebab, dinilai masih memiliki celah yang berpotensi merugikan negara. Karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan ini.

"Perlu perbaikan-perbaikan aturan, sebab masalah ini menyangkut kepentingan publik. Pemasukan negara dari cukai harus maksimal untuk pembiayaan-pembiayaan bagi kepentingan masyarakat. Misalnya pembangunan infrastruktur, pembiayaan fasilitas kesehatan masyarakat. dan lainnya," tegas Pemerhati Kebijakan Publik, Agus Wahyudin, dikutip dari keterangannya, Sabtu 20 Septermber 2019.

Agus mengatakan, pemerintah perlu melakukan penelitian dan investigasi mengenai potensi kebocoran dalam penerimaan cukai. "Pemerintah perlu melakukan investigasi dengan melibatkan pihak berwenang. Hal itu, tentunya juga akan mempersempit ruang bagi pihak-pihak yang akan berlaku curang," ujarnya.

Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Agus, perlu dilibatkan untuk melakukan kajian dan rekomendasi kepada pemerintah terkait struktur tarif cukai rokok.

Senada dengan Agus, aktivis antikorupsi Danang Widiyoko menilai, proses pembuatan kebijakan harus transparan. "Akuntabilitasnya perlu didorong, supaya lebih transparan," ujarnya.

Menurut mantan Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) ini, dalam masalah kebijakan cukai, aspek pencegahan penting melibatkan KPK. "KPK perlu masuk untuk melakukan perhitungan, untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan, apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi, saya kira ini bagian pencegahan KPK bias turut memberikan masukan. Peran strategis KPK penting untuk ini,"katanya.

Struktur tarif cukai rokok saat ini, dinilai memiliki banyak celah yang menyebabkan pendapatan negara tidak optimal. Salah satunya, akibat perusahaan rokok besar yang masih bisa membayar cukai rokok yang lebih murah.  

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna menyatakan, indikasi intervensi industri dalam penetapan tarif cukai rokok sudah sangat kasat mata. “Produknya sudah ada dalam bentuk peraturan,” kata Mukhaer di sela acara diskusi 'Polemik Simplifikasi Cukai Rokok, Potensi Penerimaan Negara dan Kesehatan Masyarakat'.

Dia menilai, selama ini KPK menjadi lembaga yang kompeten memberikan rekomendasi, serta berpengalaman dalam hal upaya pencegahan korupsi. Karenanya, peran KPK dalam mencegah potensi kehilangan penerimaan negara sangat diperlukan.

Menurut Mukhaer, kebijakan terkait rokok melibatkan banyak kepentingan lembaga dan kementerian. Di antara kementerian yang terlibat adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kesehatan.

Sementara itu, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan, menilai, KPK perlu membuat kajian tentang kebijakan struktur tarif cukai rokok untuk mengukur peluang penerimaan negara. Kebijakan saat ini tidak efisien dan tidak konsisten dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi potensi penerimaan negara.

Dia mencontohkan, dari penyederhanaan golongan tarif saja, penerimaan negara seharusnya bisa bertambah hingga Rp7,4 triliun per tahun. “Jumlah ini sangat banyak. KPK semangat mengadakan OTT (Operasi Tangkap Tangan) untuk kasus-kasus Rp5 miliar, ini ada potensi hilang Rp7,4 triliun, karena kebijakan yang tidak efisien,” tukas Abdillah.

Padahal, dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai pembangunan baik infrastruktur maupun sumber daya manusia. Abdillah berharap, keterlibatan KPK dalam kajian kebijakan tarif cukai rokok mampu mendorong pemerintah membuat kebijakan yang berkeadilan.

Saat ini, kebijakan tarif cukai rokok diatur oleh PMK 146/2017 yang lantas direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Berbagai kajian menunjukkan ketentuan tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan industri rokok besar untuk membayar tarif cukai pada golongan rendah. Akibatnya, penerimaan negara tidak optimal.

Indonesia Budget Center (IBC) dan Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) sebelumnya juga mendesak KPK, turut mencegah berbagai celah yang ada dalam PMK tersebut. Keduanya menilai, kebijakan yang rumit melahirkan potensi korupsi dan memunculkan potensi kehilangan penerimaan negara.

Awal 2019, KPK memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menghapuskan insentif fiskal di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara sangat besar. Rekomendasi tersebut, terbukti cukup efektif mencegah berbagai penyimpangan yang dibuktikan dengan pencabutan pemberian insentif fiskal rokok di FTZ sejak 17 Mei 2019 lalu.

Dengan demikian, kajian dan rekomendasi sejenis dinilai dapat dilakukan terhadap peraturan tentang tarif cukai rokok.

Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan membenarkan pembuatan kajian dan rekomendasi terkait insentif fiskal rokok di FTZ merupakan salah satu upaya mereka mencegah potensi korupsi akibat kebijakan.