SKM dan SPM Digabung, Solusi Optimalisasi Penerimaan Cukai Rokok

Petugas menunjukkan barang bukti rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) ilegal di kantor Bea dan Cukai Kudus, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

VIVA – Pemerintah dinilai belum memiliki kebijakan yang jelas dan konsisten terkait cukai. Hal ini terlihat, dari keputusan yang selalu diambil secara sporadis, pragmatis, dan insidentil setiap menjelang akhir tahun atau pascapengumuman target penerimaan cukai di nota keuangan.

Salah satu contohnya adalah kenaikan tarif cukai rokok. Akibatnya, setiap tahun terjadi kegaduhan dan tarik menarik berbagai kepentingan di industri rokok. Tarik menarik kepentingan inilah yang salah satunya berpotensi memunculkan berbagai pelanggaran hukum.

“Pemerintah harus punya kebijakan yang jelas dan konsisten dalam menetapkan sebuah produk hukum. Jika tidak, akan terjadi gejolak di industri contohnya keputusan tarif cukai yang naik signifikan. Padahal, di awal tahun pemerintah menyatakan tidak akan ada kenaikan cukai. Ini cermin inkonsistensi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan,” jelas pegiat Antikorupsi, Danang Widoyoko dalam diskusi Weekly Forum : Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020 di Jakarta, Rabu 18 September 2019.

Inkonsistensi tersebut, menurut Danang, salah satunya terlihat dari perubahan PMK 146 Tahun 2017 yang direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018, di mana pemerintah menghentikan sementara rencana penyederhanaan golongan tarif cukai yang seharusnya dilakukan secara bertahap sampai 2021. Sayangnya, tidak jelas sampai kapan penghentian sementara itu akan dilakukan.

Menurut dia, industri hasil tembakau (IHT) harus dipaksa untuk terbuka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus dilibatkan, untuk menentukan kebijakan cukai tersebut. ‘’Harus terbuka, jangan membawa kepentingannya masing-masing. Menurut saya, prosesnya harus didorong agar lebih terbuka,’’ tegasnya.

Dia mengatakan, aspek pencegahan terhadap peluang pabrikan untuk menghindari pajak juga harus melibatkan lembaga lain. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

‘’Saya kira, ini aspek pencegahan penting oleh KPK. KPK perlu masuk untuk melakukan penghitungan alternatif untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan, apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi, saya kira ini bagian pencegahan KPK bisa turut memberikan masukan,’’ tegas mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.

Menurut Danang, keputusan yang diambil terkait cukai saat ini tidak murni mempertimbangkan kondisi industri dan pengendalian kesehatan, namun pragmatis mengejar target penerimaan negara. “Bagaimana mungkin, sebuah kebijakan yang sudah dijalankan tiba-tiba di tengah-tengah direvisi. Ini perlu ditelaah lebih dalam,” kata dia.

Danang menambahkan, pemerintah harus lebih konsisten dalam melangkah karena setiap keputusan yang diambil akan menentukan efektivitas penerimaan negara, masa depan dan keberlangsungan industri, serta pengendalian konsumsi rokok.

Di antara kebijakan yang dapat ditempuh untuk mencapai tiga tujuan tersebut di luar menaikkan tarif cukai adalah penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Jika ini dilakukan secara konsisten, akan menciptakan tiga keuntungan. Pertama, penerimaan negara akan optimal, karena tak ada perusahaan besar, terutama asing yang membayar cukai murah.

Kedua, tercipta persaingan usaha yang sehat di mana perusahaan besar akan bersaing dengan sesama perusahaan besar, dan sebaliknya. Ketiga, konsumsi rokok akan terkendali, karena harganya di pasar akan naik, namun dengan tingkat inflasi lebih terkendali dan terprediksi.

Pakar perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menambahkan, untuk mencegah penghindaran pajak (tax avoidance) dari pabrikan rokok asing, maka perlu dibuat aturan yang ketat.

’Tax avoidance itu menghilangkan hak masyarakat lain untuk mendapatkan  pelayanan publik yang dibiayai dari pajak. Tetapi, semua kebijakan jangan dirumuskan tiba-tiba, sehingga sering menimbulkan guncangan di industri,’’ ujar Yustinus.

Dia mengatakan, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stakeholder) duduk bersama untuk membahas persoalan tersebut. Di antaranya, pengusaha tembakau, pabrikan besar dan kecil, supplier cengkeh dan lainnya.

‘’Sebenarnya yang paling pas adalah kebijakan simplifikasi. Karena, kalau arahnya industri tembakau mudah diawasi, ya dibikin simple saja. Memang, harus ada waktu untuk menerimanya, karena industri tidak serta merta bisa menyesuaikan harus ada persiapan,’’ tuturnya.

Sementara itu, Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI), Abdillah Ahsan menilai, kebijakan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM perlu direalisasikan, karena pabrikan rokok selama ini telah menikmati tarif cukai murah.

“Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah, padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja,” kata Abdillah.

Sebab, produksi juga dilakukan dengan menggunakan mesin tidak menggunakan tenaga manusia.  ‘’Kalau menggunakan tenaga manusia dan membuka lapangan kerja tidak masalah menolak. Ini kan sama-sama menggunakan mesin, kok menolak,’’tegasnya.

Abdillah menyadari, pabrikan rokok menolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM, karena khawatir mereka tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah. Dengan penggabungan tersebut, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.  

“Tentu saja yang menolak, menikmati keuntungan dari sistem saat ini yang tidak rasional dijalankan. Kebijakan yang tidak efisien ini, juga mendorong rokok ilegal, karena jumlah layer tarif cukai banyak, sehingga peluang rokok ilegal tipe salah personifikasi meningkat,” ucap dia.  

Jika penggabungan batasan produksi SKM dan SPM tidak segera direalisasikan, Abdillah khawatir, angka perkokok di Indonesia akan terus meningkat, lantaran semakin murah dan mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat. 

“Semangat penggabungan SKM dan SPM  untuk mengurangi perbedaan harga rokok, sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah, pada saat harga rokok naik. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” katanya.