DPR: Kebijakan Cukai Jangan Sisakan Celah untuk Dimanfaatkan

Karyawan perusahaan rokok dalam negeri.
Sumber :
  • Warta Ekonomi/Sufri Yuliardi

VIVA – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi XI Bidang Keuangan, Ahmad Najib berharap, wacana penggabungan Sikaret Kretek Mesin atau SKM dan Sigaret Putih Mesin atau SPM menjadi tiga miliar batang yang saat ini masih dikaji pemerintah, haruslah merupakan kebijakan yang tepat dan memiliki asas keadilan.

Menurutnya, penggabungan SKM dan SPM memang perlu dilakukan, agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah. Dengan demikian, potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai dapat diminimalisir.

“Prinsip dalam sebuah kebijakan itu, salah satunya menganut asas keadilan, jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” tutur Ahmad Najib, seperti dikutip dari keterangannya, Selasa 17 September 2019.

Aturan mengenai penggabungan batasan produksi SKM dan SPM ini sejatinya telah diterapkan pada PMK 146 Tahun 2017, kemudian direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018.

Sayangnya, di aturan yang baru, poin penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dihapuskan. Hal ini yang kemudian menjadi kegaduhan di industri rokok.

Padahal, melalui aturan tersebut sudah mencerminkan azas keadilan, di mana pabrikan besar tidak akan berhadapan dengan pabrikan kecil.

“Batasan volume produksi dijadikan acuan besaran cukai sangat mudah untuk diakali, salah satunya dengan sengaja untuk tidak mencapai batasan volume tadi, sehingga bea yang diterapkan akan rendah,” jelas Ahmad.  

Ahmad menegaskan kepada pemerintah, untuk tidak menerapkan sebuah kebijakan yang dengan mudah disiasati, sehingga tujuan dan target dari kebijakan yang akan diterapkan tidak akan pernah tercapai.

Sebelumnya, hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok, di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM atau SPM tiga miliar batang.

Jumlah ini adalah batas minimal produksi, agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1). Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, dan demikian sebaliknya.

“Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara,” tegas Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad.

Data INDEF, bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas tiga miliar batang, agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.

"Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," ujar Tauhid.

Hal serupa juga terjadi pada SKM. "Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi satu miliar batang dengan harga jual minimum Rp715 per batang, maka pendapatan kotornya Rp715 miliar per tahun. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” tanya Tauhid.

Padahal, sesuai Undang-undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebuah perusahaan masuk kategori besar, jika penjualan mereka melampaui Rp50 miliar per tahun.