Pekerja Pabrik Rokok Kecil Harus Dilindungi dari Ancaman PHK
- ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
VIVA – Mitra Produksi Sigaret Indonesia atau MPSI meminta pemerintah untuk melindungi segmen rokok kretek, menyusul adanya kebijakan yang membuat pelaku usaha kecil di segmen itu mulai resah.
Permintaan tersebut disampaikan menanggapi keluhan pelaku usaha industri rokok, terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan (SKT) golongan 2 dari dua miliar menjadi tiga miliar batang.
Wacana ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di industri rokok, namun akan menciptakan dampak sosial ekonomi yang sangat besar dan mengancam puluhan ribu buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Bagaimana mungkin, sebuah pabrikan yang memiliki modal besar dan merupakan salah satu pabrikan besar dunia ingin menaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan golongan 2 yang tarif cukainya lebih murah? Ini jelas-jelas menguntungkan satu pabrikan besar asing saja, dan merugikan pihak lainnya,” jelas Ketua MPSI, Joko Wahyudi dalam keterangannya, Jumat 13 September 2019.
Dia mengatakan, usulan kenaikan batasan produksi SKT golongan 2 yang diajukan satu perusahaan besar asing ini akan menyebabkan 28.000 pelinting yang bekerja di pabrikan SKT golongan 1 akan kehilangan pekerjaan. Tak hanya itu, negara juga berpotensi kehilangan penerimaan cukai sekitar Rp1 triliun.
Joko menambahkan, tanpa adanya kenaikan batasan produksi SKT golongan 2, para buruh linting telah menderita, lantaran penurunan pangsa pasar SKT secara tajam dari 37 persen pada 2006 menjadi 17 persen pada 2018. Bahkan, pada 2019, sejumlah pabrikan SKT golongan 1 telah mengurangi jumlah produksinya, serta meliburkan puluhan ribu pelinting selama beberapa hari.
“Maka itu, kami berharap pemerintah tidak tunduk pada usulan pabrikan besar asing, yang hanya menyengsarakan buruh linting yang sudah terpuruk,” kata Joko.
Sementara itu, tokoh masyarakat Yogyakarta, GKR Cindrokirono menilai, sebagai warisan budaya, pemerintah harus melindungi rokok kretek. Perlindungan bisa dilakukan, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sekiranya dapat berpihak kepada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
“Para pelinting rokok sangat menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan ini, demi kelangsungan keluarganya. Kami hanya bisa berharap, agar pemerintah dapat melihat dan meneliti kembali kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan sebelum menggerus habis industri sigaret kretek tangan,” kata putri Sri Sultan Hamengkubuwono X itu.
Diungkapkan GKR Condrokirono, berdasarkan hasil berbagai penelitian, rokok kretek mampu menghidupi banyak orang di wilayah Yogyakarta, dan sekitarnya sejak akhir abad ke-18. Persebaran produksi rokok kretek dimulai dari usaha-usaha kerajinan rakyat, hingga akhirnya berkembang menjadi industri kecil, bahkan perusahaan.
“Sejak tahun 1900-an, kretek telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Yogyakarta, yang diwariskan secara turun temurun dan Yogyakarta sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah kretek di Indonesia," katanya.
Lebih dari satu abad, kretek telah mewarnai kehidupan masyarakat Yogyakarta. "Jangan sampai salah satu warisan budaya kita yang sudah turun temurun ini hanya dilihat sebelah mata dan hilang,” tutur GKR Condrokirono.