RI dan Malaysia Kompak Lawan Diskriminasi Sawit di Eropa

Kebakaran hutan dan lahan perkebunan sawit rakyat terjadi di sejumlah tempat di Desa Bukit Kerikil Bengkalis dan Desa Gurun Panjang di Dumai, Dumai Riau, Senin, 25 Februari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid

VIVA – Pasar sawit dunia masih belum ramah untuk negara-negara penghasilnya, seperti Indonesia dan Malaysia. Dua negara ini pun sepakat melawan diskriminasi.

Saat bertemu Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Presiden RI Joko Widodo sepakat menghadapi masalah diskriminasi ini bersama-sama. Khususnya menghadapi negara-negara Eropa yang masih mempersulit masuknya crude palm oil.

"Kedua pemimpin memiliki komitmen yang tinggi untuk meneruskan perlawanan terhadap diskriminasi sawit,” ujar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, usai pertemuan bilateral di Malaysia, seperti dalam siaran pers Biro Pers, Media dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden, Jumat 9 Agustus 2019.

Kedua negara punya komitmen yang tinggi dalam melakukan pengolahan dan pengelolaan sawit secara berkelanjutan. Indonesia, kata Retno, juga telah memiliki sertifikasi sawit dan data-data ilmiah yang dapat dipakai untuk perbandingan.

Akan ada sekitar 15 juta penduduk terdampak, yang bergerak di bidang sawit, jika Uni Eropa masih terus mempersulit ini.

Dalam mengatasi persoalan sawit yang dihambat masuk ke Uni Eropa ini, telah dibentuk oleh ASEAN dan Uni Eropa berupa Working Group (WG) on Palm Oil. Namun, WG ini didorong agar memiliki persamaan persepsi agar masalah tersebut teratasi.

Indonesia dan Malaysia, siap bekerja sama secara terbuka dengan negara-negara Uni Eropa. Namun, kedua negara mewanti-wanti agar tidak ada diskriminasi.

“Jadi pendekatan kita adalah pendekatan yang terbuka. Mari kita bekerja sama. Tapi ya sekali lagi, kalau ajakan kerja sama itu tidak dan terus-menerus kita terdiskriminasi ya pastinya Indonesia dan Malaysia tidak akan diam. Kita akan melawan,” tutur Retno.

Komisi Uni Eropa sendiri sudah menyerahkan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II kepada Parlemen Uni Eropa.

Justru inilah yang membuat sawit tidak bisa masuk. Lantaran dalam regulasi itu disebut bahwa sawit bisa berakibat pada deforestasi secara berlebihan. Indonesia dan Malaysia dianggap kurang memperhatikan masalah ini. Di mana lahan hutan diganti menjadi sawit, di antaranya melalui proses pembakaran lahan.