Mengapa Uber jadi Raksasa yang Kalah Berulang Kali?
- bbc
Pertama Cina, lalu Rusia, dan kini Asia Tenggara -yang meliputi Indonesia.
Semuanya kini jadi terdengar seperti kisah itu-itu saja yang terus berulang.
Raksasa taksi online global Uber masuk ke pasar-pasar baru, dengan semua kegigihan dan keberanian, dan kedigjayaan kekuatan luar biasa dari luar, namun kemudian menemukan diri mereka terlibat dalam pertempuran jalanan yang sengit dengan para saingan lokal, dan kemudian akhirnya - kalah perang.
Kita mendapat firasat awal bahwa strategi global Uber untuk `masuk menerobos` tampak serba keliru ketika mereka kehilangan pasar mereka di Cina terhadap Didi Chuxing pada tahun 2016.
Pada saat itu, penjelasan Uber tentang penarikan diri mereka dari Cina adalah lebih masuk akal untuk keluar dari pasar yang jelas sudah dilayani dengan baik oleh Didi, dan bukanlah mrupakan kekalahan ketika kemudian kita jadi memiliki saham di perusahaan itu.
Tetapi ingat, bos Uber Travis Kalanick waktu itu, pernah menyatakan ungkapan yang terkenal, bahwa sukses di Cina adalah berarti menjadi nomor satu di sana.
Kata-kata yang harus dia telan ternyata, terutama karena Uber dilaporkan kehilangan sekitar satu miliar dolar setahun di Cina.
Di sini, di Asia Tenggara, kisah serupa muncul.
Grab dan Uber bertarung mati-matian untuk pangsa pasar di jalanan utama wilayah ini. Mereka bukan saja bertempur dengan taksi - di negara-negara seperti Indonesia, ojek motor juga merupakan bisnis besar.
Dalam berbagai perkiraan, setiap tahunnya Uber mrugi ratusan juta dolar di Asia Tenggara - bersama para pesaingnya.
Semuanya berita buruk bagi perusahaan yang ingin pada tahun 2019 itu.
"Uber sekarang berada di bawah tekanan untuk bisa menghasilkan uang sebelum IPO 2019, sebagaimana telah dijanjikan kepada para pemegang saham," tulis John Colley, dari Warwick Business School.
"Di Cina, Rusia, dan sekarang Asia Tenggara, Uber ditekuk oleh pesaing setempat yang memiliki pengetahuan dan koneksi lokal yang lebih baik."
Pesaing lokal di Asia Tenggara itu muncul dalam bentuk taipan bisnis Malaysia Anthony Tan. Dia bukan jenis orang biasa.
Ia berasal dari bisnis keluarga dengan jaringan yang mapan. Dibesarkan di wilayah ini, ia memahami sifat pasar Asia Tenggara yang berbeda dan beragam.
Para penumpang Ojek - di Jakarta misalnya, sangat berbeda dari orang Singapura yang menggunakan taksi. Pelanggan di Bangkok memiliki kebutuhan perjalanan yang sangat berbeda dibanding penumpang di Kuala Lumpur. Tan mengatakan, berbasis di Asia Tenggara memberinya keuntungan dalam memecahkan masalah regional.
Â
Tan juga memiliki rencana besar untuk perusahaannya yang juga berhasil menarik investasi dari pihak seperti Softbank Jepang, yang juga memiliki 15% saham Uber.
Bos muda dan ambisius dari apa yang sekarang secara efektif menjadi perusahaan aplikasi paling kuat di Asia Tenggara itu mengatakan kepada saya bulan lalu di Singapura, bagaimana dia ingin Grab menjadi segalanya bagi semua orang - di pasar sebesar 600 juta orang ini.
"Kami ingin menjadi aplikasi yang memungkinkan Anda untuk membeli kopi Anda, memperoleh hadiah -reward, kemudian kalau Anda ingin membeli makan siang dan ... makanan Anda dikirimkan sehingga Anda tidak harus menempuh kemacetan," katanya.
"Ketika Anda serelevan itu, itu hal nyata untuk setiap pelanggan di seluruh wilayah berpenduduk 600 juta, maka Anda menciptakan nilai yang sangat besar."
Tapi Anthony Tan tidak bisa berpuas diri. Meskipun berhasil mendorong Uber keluar dari pasar ini, ia harus berhadapan dengan entitas lain yang yang lebih lapar dan lebih ramping: Go-Jek, perusahaan yang juga didukung Google Indonesia dan Temasek.
Di Indonesia, Go-Jek sangat dominan. Bermula dari ojek, mereka sudah merambah ke taksi dan berbagai layanan antar, kirim dokumen, pesan makanan, belanja, bahkan layanan seperti membersihkan rumah, rias kecantikan, pijat, dan lainnya.
Saat ini, kedigjayaan Go-Jek masih terbatas di kampung halaman sendiri, tetapi ada desas-desus bahwa mereka akan segera merambah Filipina.
Untuk Uber, mereka jelas masih harus terus bekerja keras untuk menemukan ruh.
Asia Tenggara ini adalah pasar ketiga yang Uber melakukan penarikan diri dalam beberapa tahun terakhir. Mereka sangat ingin menekankan bahwa kesepakatan dengan Grab ini merupakan penggabungan dua pihak yang setara - semacam kemitraan.
Tetapi email internal dari bos Uber, Dara Khosrowshahi, mengungkapkan betapa banyak kekeliruan strategi global yang mungkin dilakukan perusahaan.
"Salah satu bahaya potensial, dari strategi global kita," tulisnya, "adalah bahwa kita menghadapi terlalu banyak pertempuran di banyak medan dengan terlalu banyak pesaing."
Uber dengan cepat menekankan bahwa mereka tak lagi menyiapkan kartu lain - bahkan, pimpinan Uber mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin.
Namun di pasar Asia lainnya: Jepang, Korea Selatan, dan India - Uber juga menghadapi persaingan lokal.
Dan jika pengalaman di jalanan dengan para pesaing lokal merupakan sesuatu yang harus dilalui, Uber mungkin harus menempuh perjalanan yang penuh guncangan.