Pengusaha Angkutan Online Diminta Jangan Terus Buat Gaduh

Ilustrasi Taksi online Grab.
Sumber :
  • Grab

VIVA – Jaringan Aktivis Pro Demokrasi, atau ProDEM menyoroti pola kerja layanan berbagi kendaraan/ride sharing berbasis teknologi aplikasi yang terus membuat gaduh di Indonesia. Perusahaan angkutan berbasis online itu dinilai tidak patuh terhadap aturan-aturan dari pemerintah, dan terus menabrak undang-undang, 

"Layanan ride sharing mengacak-acak peraturan melalui tawaran program yang dimainkan masing-masing korporasi, atau biasa disebut aplikator," ujar Wasekjen Bidang Kebijakan Publik ProDEM, Dedi Hardianto dikutip dari keterangan resminya, Senin 5 Februari 2018.

Dia mencatat, dari belasan perusahaan sejenis terdapat tiga perusahaan ride sharing yang bersaing ketat, seperti Grab, Uber, dan Gojek. Sementara itu, sisanya layu sebelum berkembang, entah karena tidak memiliki konsep yang jelas, atau hanya sekadar mencari sensasi semata. 

Tiga kelompok yang tersisa ini memiliki bisnis di bidang transportasi roda dua dan roda empat. Tidak hanya itu, Gojek pun merambah ke jasa pijat, layanan antarbarang dan makanan, tiket bioskop, dan tenaga kebersihan.

Para aplikator itu pun, menurutnya, membantah keras anggapan bahwa pola bisnisnya berada di sektor teknologi, perhubungan, dan ketenagakerjaan. Tujuannya, mengejar keuntungan sebesar mungkin, lalu mengaburkan pakem utama bisnis ini dengan menghilangkan potensi-potensi aturan dan pajak yang seharusnya dibayarkan berdasarkan jenis bisnis yang ditawarkan.

"Mereka (ride sharing) mengaku bergerak di bidang aplikasi, faktanya kelompok ini melibatkan sektor perhubungan melalui transportasi darat milik para pekerja yang bekerja tanpa gaji di perusahaan aplikator tersebut," tegasnya.

Analisa ProDEM mengungkap, normalnya para pekerja mendapatkan alat transportasi dari pemberi kerja. Namun dengan pola kerja perusahaan aplikator itu, para pekerja dibuat secara sukarela menggunakan kendaraan mereka sendiri. 

Dengan sebutan mitra, kaum kelas pekerja dianggap sebagai pengusaha, padahal mereka bergabung dengan kelompok aplikasi ini karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan. Kelompok-kelompok pekerja ini diberikan brand seragam agar mudah dikenali dan dikontrol. Tetapi, tanpa disadari para pekerja ini secara tidak sadar justru telah kehilangan haknya sebagai tenaga kerja.

Sementara itu, Kementerian Kominfo sebagai regulator bidang teknologi informasi juga sukses dibelah oleh kelompok aplikator tersebut. Kominfo yang seharusnya mengawasi, terbukti kehilangan peran dan 100 persen mengikuti pola main aplikator. Kemenkominfo sukses ditelanjangi, sama seperti Kemenhub dan Kemenakertrans.

"Aplikator sukses mendapatkan banyak investor hingga triliunan rupiah, tetapi lalai memenuhi hak pengemudi. Misalnya, asuransi yang diterapkan dalam sistem aplikator hanya meng-cover insiden, saat pekerja aplikator membawa penumpang. Apabila terjadi insiden hingga hilangnya nyawa, maka diperlukan investigasi untuk mengeluarkan bantuan santunan yang besarannya pun tidak layak," terang Dedi.

ProDEM mendesak agar para perusahaan aplikator memenuhi hak para pengemudi pekerja atau yang akrab disapa mitra. Termasuk, soal BPJS Ketenagakerjaan yang menjamin hari tua para pekerja, agar tak sampai hilang dan tak berfungsi.

"Pemerintah harus tegas, jangan seolah tak berdaya menangani situasi permainan aplikator tersebut," tegasnya.