Menelusuri Asal Usul Prostitusi di Indonesia
- VIVAnews/ Stella Maris
VIVA.co.id – Kawasan Gang Laler, Kemayoran, Jakarta Pusat, mungkin telah berganti rupa. Kawasan yang juga dikenal dengan Blok B1 itu, kini berdiri kios-kios kecil yang diisi penjual makanan. Tak ada lagi gemerlap dunia malam, yang selalu ramai hingga azan berkumandang.
Meski telah berganti rupa, keberadaan para pekerja seks komersial, sebagai pengisinya, tetap tak bisa hilang begitu saja. Di bawah lampu temaram, mereka berjajar rapi menunggu pelanggan. Dari balik tembok setinggi dada orang dewasa, hanya wajah penuh bedak yang tampak. Bagian dada mereka sedikit menyembul. Kaus yang dikenakan begitu ketat.
Satu-dua motor sesekali berhenti dan menghampiri. Mereka sedikit berbincang lantas kemudian pergi begitu saja. Tak jarang, mobil-mobil memberikan lampu sein kiri dan menepi. Mereka membuka setengah kaca mobilnya, dan sang wanita itu mendekat. Lantas masuk ke dalam mobil dan pergi entah ke mana.
Praktik pekerja seks komersial, memang sulit dihapuskan begitu saja. Wanita tunasusila ini sendiri punya akar sejarah yang lumayan panjang pada masyarakat Indonesia.
Dalam penelitiannya yang berjudul From Concubines to Prostitutes, A Partial History of Trade in Sexual Services in Indonesia, Terrence Hull, seorang Profesor Demografi dari Australian National University mengatakan, asal-usul prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri dari zaman kerajaan Jawa.
Pada saat itu, ‘komoditas’ perempuan merupakan bagian integral dari sistem feodal. Hal ini bisa dilacak pada kerajaan Mataram yang terbentuk pada tahun 1755. Kala itu, konsep kewibawaan raja sangat luas dan berkuasa.
"Mereka sering digambarkan sebagai pemilik segalanya; tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga kehidupan rakyatnya. Dalam kasus wanita, ini adalah atribusi yang sering diambil secara harfiah," ungkap Hull dalam tulisannya tersebut.
Hull menjelaskan, tingkat kekuatan besar raja diwakili oleh seberapa banyak selir yang dimiliki. Beberapa selir adalah putri bangsawan yang diberikan kepada raja sebagai tanda kesetiaan mereka. Sementara yang lainnya adalah upeti dari kerajaan lain; dan banyak wanita kelas bawah yang dijual atau diberikan oleh keluarga mereka untuk mengambil posisi kecil di rumah tangga kerajaan.
Perlakuan terhadap wanita sebagai komoditas tidak hanya terbatas di Jawa, namun kenyataannya umum di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem indenture dan perbudakan seumur hidup adalah bentuk feodal yang umum.
Di Bali janda kasta rendah tanpa dukungan keluarga yang kuat otomatis menjadi milik raja. Jika dia memilih untuk tidak memasukkannya ke dalam rumah tangganya, dia dikirim ke pedesaan untuk bekerja sebagai pelacur. Bagian dari pendapatannya harus dikembalikan secara teratur kepada raja.
Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi juga makin berkembang pesat selama masa penjajahan Belanda. Sistem perbudakan dan pergundikan tradisional disesuaikan dengan kebutuhan dan adat istiadat masyarakat Eropa yang didirikan di wilayah pelabuhan nusantara, dengan kepuasan seksual tentara, pedagang dan utusan menjadi salah satu isu prioritas dalam benturan budaya asing.
"Dari awal, isu ini menimbulkan banyak dilema bagi penduduk asli dan orang Eropa. Di satu sisi, sejumlah besar pria lajang dibawa ke Indonesia oleh bisnis kolonial dan pemerintah menghasilkan permintaan untuk layanan domestik dan seksual, yang mudah dipuaskan oleh keluarga dengan anak perempuan dan perempuan yang dicari yang mencari keuntungan material dari pendatang baru," Tulis Hull.
Sementara itu, di sisi lain, baik masyarakat asli maupun masyarakat kolonial menganggap bahaya pada hubungan antar ras yang tidak diatur. Karena itu perkawinan formal tidak dianjurkan atau dilarang, dan perselisihan antar ras dikutuk tapi diterima sebagai kebutuhan diam-diam.
"Dalam konteks ini, persekongkolan yang tidak stabil dan tidak adil serta hubungan komersial langsung adalah pilihan yang tersedia bagi pria Eropa, dan ditoleransi oleh pemimpin mereka," kata Hull.
Lebih jauh, perluasan perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pembentukan perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan dan kereta api melibatkan migrasi pekerja laki-laki yang cukup banya. Ini menciptakan permintaan untuk layanan pekerja seks.
Selama pembangunan perkeretaapian yang menghubungkan kota-kota Jawa di Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 1884, pelacuran tidak hanya berkembang untuk melayani pekerja bangunan, tetapi juga di setiap kota besar yang dilayani oleh kereta api, kedatangan penumpang kereta api meningkatkan permintaan akan papan dan penginapan dan juga untuk layanan seksual.
Sebagai contoh, di Bandung, kompleks pelacuran dikembangkan di beberapa lokasi yang dekat dengan stasiun, termasuk Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah dan Saritem. Di kompleks pelacuran Yogyakarta, juga didirikan di kawasan Pasar Kembang, Mbalokan dan Sosrowijayan.
Komersialisasi seks di Indonesia semakin mengakar selama pendudukan Jepang antara tahun 1941 dan 1945. Wanita yang sudah bekerja sebagai pelacur dikelompokkan dan, setelah pemeriksaan kesehatan, beberapa dialokasikan ke rumah pelacuran untuk melayani tentara Jepang sementara yang lain terus bekerja seperti biasa.
Pada akhir 1940-an, atau setelah Indonesia merdeka, pembangunan semakin terpusat di Jawa, dan meninggalkan kemiskinan di daerah lain. Hal ini mendorong para pekerja, tak terkecuali perempuan untuk mengadu nasibnya di kota besar.
Menjelang akhir 1960-an dan 1970-an, meningkatnya jumlah migran perempuan di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya persaingan di kalangan pekerja perempuan, dan antara pekerja perempuan dan laki-laki.
"Karena kebanyakan migran perempuan masih muda dan tidak berpengalaman, dengan tingkat pendidikan yang rendah dan keterampilan yang terbatas, peluang mereka terbatas pada pekerjaan dengan status rendah dengan remunerasi rendah," kata dia.
Aktivitas yang paling umum untuk pekerja wanita ini, lanjut dia, ada di sektor informal seperti pedagang, pekerja keluarga yang tidak dibayar, atau pekerja rumah tangga. Sementara yang lain, menjadi pelacur.
Industri seks di Indonesia semakin kompleks, sejalan dengan meningkatnya mobilitas penduduk Indonesia, meningkatnya laju kehidupan, meningkatnya pendapatan dan tantangan bagi adat istiadat yang diterima.
Populasi yang tersebar memiliki lebih banyak motivasi dan kesempatan untuk perselingkuhan, dan konsentrasi warung di mana seks dapat dibeli di dekat stasiun kereta api dan pemberhentian di pinggir jalan untuk supir truk jarak jauh adalah kesaksian atas permintaan dari sumber-sumber ini. Seperti kawasan Gang Laler di Kemayoran, yang juga dekat dengan pangkalan Bus Damri, yang tak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok.