Gunung Agung dan Efek Pendinginan Bumi

Gunung Agung berstatus Awas. Terakhir kali meletus pada 1963.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

VIVA.co.id – Dampak erupsi Gunung Agung pada 1963 menarik perhatian para peneliti. Gunung tertinggi di Bali yang meletus terakhir kali pada 17 Maret 1963 itu dampaknya sampai ke belahan dunia lain. 

Lereng Gunung Agung Terbakar, BPBD Bali: Asap Tipis Masih Terlihat

Warga di Amerika Serikat tidak bisa melihat penampakan Gerhana Bulan pada Desember 1963, sembilan bulan usai letusan. Hal ini lantaran letusan Gunung Agung membawa material partikel vulkanik ke atmosfer dan bertahan dalam waktu lama. Dalam waktu lama partikel tersebut makin bergerak ke atmosfer lapisan atas dan membuat penampakan gerhana menjadi berbeda. 

Selain berdampak menghilangnya Gerhana Bulan, dampak letusan itu juga menarik studi dampak pendinginan bumi dari James Hansen, peneliti studi ruang angkasa di Goddard Institute Badan Amerika Serikat. Hansen merupakan salah satu saksi yang tak bisa melihat penampakan Gerhana Bulan pada Desember 1963. Pada 1967 dia sudah menjadi karyawan NASA.

Pendaki Lansia Ditemukan Tewas di Puncak Gunung Agung, Jasad Ditemukan WNA

Dikutip dari situs NASA, Senin 25 September 2017, pada periode 1960-an, terjadi “pertarungan” wacana. Beberapa ilmuwan menduga bumi sedang memasuki pendinginan global, sedangkan sebagian ilmuwan lain meyakini bumi mengalami pemanasan global.

Untuk wacana pendinginan bumi, berdasar dari teori perubahan suhu bumi yang dilontarkan matematikawan Serbia, Milutin Milankovitch, yang menjelaskan bumi seharusnya memasuki siklus zaman es, pendinginan.

Merugi, Seluruh Outlet Toko Buku Gunung Agung Bakal Ditutup Akhir 2023

Ide Milankovitch kala itu, mendapat dukungan dari data yang dimiliki Murray Mitchell, peneliti dari Badan Klimatologi dan Cuaca AS (NOAA), yang punya kumpulan data suhu terlengkap. Tapi data tersebut hanya mencakup belahan bumi utara. 

Data Mitchell saat itu menunjukkan, suhu permukaan bumi mengalami periode pendinginan sekitar 0,3 derajat celsius pada periode 1940 sampai 1970. 

Sedangkan perkiraan pemanasan global dilontarkan ahli iklim Uni Soviet, Mikhail Budyko, dengan mengamati tren pendinginan bumi selama tiga periode. Tapi selain itu, pada 1967, Budyko memperkirakan pendinginan akan beralih ke pemanasan, salah satu penyebabnya karena emisi karbon dioksida dari manusia. 

Ilmuwan lain yang seide dengan bumi bakal mengalami pemanasan global kala itu yaitu Veerabhadran Ramanathan. Dalam makalahnya 1975, Ramanathan menuturkan Klorofluorokarbon (CFC) adalah gas rumah kaca yang berbahaya, dan bisa menambah bumi makin panas. CFC merupakan senyawa organik yang hanya mengandung karbon, klorin, dan fluorin, yang diproduksi sebagai derivat volatil dari metana, etana, dan propana. 

Gagasan pendinginan dan pemanasan bumi itu menarik perhatian Hansen. 

"Sudah diketahui lebih dari seabad peningkatan karbon dioksida bisa berdampak pada suhu global," kata Hansen.

Simulasi Efek Letusan

Didorong penasaran, Hansen bersama koleganya di NASA, Andy Lacis mengembangkan model iklim sederhana untuk menyimulasikan perubahan atmosfer menyebabkan suhu rata-rata bumi berubah dari waktu ke waktu. Mereka memasukkan data berdasarkan rumus persamaan fisika tentang iklim yang telah dikembangkan Hansen selama satu dekade terakhir. 

Dalam rumusan baru, Hansen dan Lacis mengubah input datanya dengan menyimulasikan pengaruh kumulatif semua gas rumah kaca buatan manusia kecuali karbon dioksida. Input yang dimasukkan yaitu CFC,metana, dinitrogen oksida dan ozon. Hasilnya mengejutkan, keduanya menemukan efek pemanadan dari semua elemen yang digabungkan itu sebanding dengan efek pemanasan karbon dioksida saja. 

Model tersebut kemudian dipakai untuk mensimulasikan dampak letusan Gunung Agung, 15 tahun setelah peristiwa itu terjadi. Maka Hansen kemudian mengkalkulasi efek pendinginan Gunung Agung terhadap suhu global. 

Hansen dan Lacis kemudian menambahkan data cuaca global nyata dari peneliti Pusat Penelitian Atmosfer Nasional, Roy Jenne.

Pada pertengahan 1970-an, Hansen meminta mahasiswanya Jeremy Barberra untuk mengolah data dari Jenne. Kolaborasi Hansen dan Barberra menghasilkan perubahan rata-rata suhu. 

Kemudian dalam analisisnya pada 1981, dalam jurnal Science, tim Hansen melaporkan secara keseluruhan, suhu rata-rata bumi naik sekitar 0,4 derajat celsius pada periode 1880 sampai 1978. Sedangkan pada periode itu, antara 1940-1970, ada pendinginan global sekitar 0,1 derajat celsius. 

Selain itu, tim Hansen menemukan tren pendinginan bumi beralih ke tren pemanasan pada 1970. Tim tersebut mencatat, tren pemanasan yang diamati dalam data dunia nyata ternyata konsisten dengan hasil model iklim global yang ia kembangkan. 

Hasilnya disimpulkan model iklim meski sederhana tapi secara akurat mencerminkan penurunan suhu tropis dampak letusan Gunung Agung.  

Pada grafis yang disampaikan, tim Hansen menunjukkan prediksi model iklim menunjukkan pendinginan bumi terjadi sejak letusan Gunung Agung sampai setidaknya 1966 dan pemanasan bumi terjadi setelahnya. Sedangkan pada data pengamatan yang nyata, menunjukkan tren yang sama. Terjadi pendinginan bumi setelah letusan Gunung Agung 1963.

Data pengukuran suhu usai letusan Gunung Agung 1963  

(ren)   

  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya