Cita-cita Bung Karno Ingin Jadikan Jenderal Ini Presiden
VIVA.co.id - Bung Karno pernah menyebutkan bahwa kelak pengganti dirinya adalah Jenderal (AD) Achmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Satuan Angkatan Darat TNI (Kasad).
Menurut mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Purn Maulwi Saelan dalam buku Penjaga Terakhir Soekarno dikatakan, Ahmad Yani adalah yang paling dekat dengan Bung Karno. Saelan juga menuturkan, Soekarno pernah menitipkan Ahmad Yani sebagai penggantinya.
Ia menjelaskan, jauh-jauh sebelumnya, Soekarno juga sudah mendengar persetujuan pihak keluarga Ahmad Yani. Hingga dijadwalkan akan ada pertemuan untuk membahas hal itu lebih lanjut. Dalam penjelasan Saelan, Ahmad Yani dijadwalkan akan menemui Bung Karno di Istana Jakarta pada 1 Oktober 1965.
"Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno," kata putri Yani, Amelia A Yani dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.
"BapakĀ sudah cerita kepada keluarga bahwa dia bakal menjadi presiden. Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain," ujar putra-putri Achmad Yani, Rully Yani, Elina Yani, Yuni Yani dan Edi Yani acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran", beberapa waktu lalu.
Informasi itu sudah diketahui pihak keluarga dua bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. "Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden," kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani.
"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, benar nih Pak. Jawab Bapak ketika itu, ya," ucapnya.
Menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber.
"Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution," katanya.
"Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi presiden," kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh.
"Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami - Untung dan Eddy, kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangdi (ke mana bisa dibunuh, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni.
Amelia Yani mengingat hubungan ayahnya dan Presiden Soekarno sangat dekat. Amelia mengingat, Soekarno ikut peduli dengan renovasi rumah Yani di Menteng. Soekarno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah. Bahkan menyempatkan hadir saat syukuran rumah Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Jenderal Achmad YaniĀ dikenal sebagai tentara cerdas dan lugas, perancang strategi perang, pemberani dan konsisten dengan profesinya. Sejarah mencatatnya sebagai De Reder van Magelang, karena keberhasilannya merebut kembali kota Magelang dari cengkeraman Belanda.
Ia berhasil menumpas pemberontakan PRRI dengan "Operasi 17 Agustus pada 1958", juga berhasil menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dengan pasukan Banteng Raiders yang dia bentuk.
Sikap tegas dan karir militernya yang cemerlang telah mengantarkan dirinya pada posisi puncak sebagai militer dan menjadikan dirinya dekat dengan Bung Karno.
Oleh Bung Karno, ia dipercaya untuk melakukan misi pembelian senjata ke luar negeri dalam rangka memperkuat Angkatan Darat dan dipercaya sebagai Kepala Staf Komando Tertinggi.
Hubungan Yani dan Soekarno mulai dekat ketika Yani menjabat Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat sekitar tahun 1963.
Yani juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari dia rapat dengan Soekarno di Istana. Hubungan mereka kemudian memang erat.
Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Soekarno makin akrab. Namun kemesraan itu tak berlangsung lama. Isu Dewan Jenderal dan rumor kudeta Angkatan Darat membuat jarak di antara Soekarno dan Yani.