Biaya Top Up E-Money Bikin Perbankan Untung 'Banyak'

Ilustrasi transaksi pembayaran melalui berbagai sistem Anjungan Tunai Mandiri atau debit, uang elektronik, sampai dengan kartu kredit.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Di tengah kampanye Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digalakkan Bank Indonesia dan elektronifikasi jalan tol, perbankan kembali menerapkan pengenaan biaya top up e-money kepada nasabah.

Viral Bayar Tol Hingga Rp789 Ribu, Padahal Cuma Melakukan Ini

Kebijakan ini dinilai kontradiktif dengan kebijakan BI untuk melaksanakan kampanye GNNT. Kebijakan pengenaan biaya top up e-money ini dinilai kurang tepat.

"Pengenaan fee top up e-money merupakan hal yang kurang tepat dilakukan untuk saat ini. Apalagi kebijakan tersebut bertepatan dengan elektronifikasi pembiayaan jalan tol. Ini kontradiktif," kata Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada VIVA.co.id, Minggu 17 September 2017.

Panduan Lengkap Daftar QRIS Melalui Doku, Pionir Payment Gateway di Indonesia

Kontradiktif yang dimaksudnya adalah, BI mendorong masyarakat untuk lebih banyak menggunakan e-money, sementara di sisi lain justru mengenakan pungutan.

"Ini jelas disinsentif bagi nasabah e-money, khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," ujar dia.

Kelakuan Pengguna Fortuner Ini Bikin Tepok Jidad saat Keluar Parkiran

Sebab, menurut dia, bisnis e-money sendiri sudah sangat menguntungkan bagi perbankan. Dia menyebut, saat pelanggan membeli kartu e-money di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan.

"Misalnya dari awal, kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank," ujar dia.

Pada 2016, ujar dia, nilai transaksi e-money mencapai Rp7 triliun. Lalu, jika diasumsikan fee based income sebesar lima persen, maka bank penerbit e-money sudah meraup untung Rp350 miliar.

"Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut fee top up meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi top up. Karena hal tersebut memberatkan konsumen," ujar dia.

Solusinya, sambung dia, adalah bagaimana cara mengembangkan e-money yang berbasis perusahaan Fintech, atau bukan berbasis bank yang mahal. Misalnya, untuk top up hanya menggunakan QR code di telepon genggam atau tidak perlu mesin dan kartu yang membuat investasi e-money jadi mahal.

"Jadi model e-money saat ini memang menguntungkan bank, bukan menguntungkan masyarakat umum. Konsep e-money perlu dirombak total," tutur dia. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya